Friday, June 1, 2007

Tutorial SPSS Part-1


Pengenalan dasar-dasar statistik perbandingan

Oleh: Hurul Ain, S. T

(Yula)


Sampah yang masuk, sampah yang keluar

(Garbage in, garbage out)

Komputer adalah alat yang sangat luar biasa berguna untuk mempermudah dan mempercepat perhitungan dan analisa data. Namun seperti alat-alat yang lain, program analisa data based on computer bisa saja mengalami kesalahan penggunaan. Jika kita salah memasukan data atau menggunakan prosedur analisis yang kurang tepat, maka hasilnya pun tidak akan berarti apa-apa, tidak membantu, dan bahkan akan menyesatkan kita. Perhatikan peraturan pertama dari komputer: Sampah yang masuk, sampah pula yang yang keluar.

Meski terperinci dan lebih dari sekedar step by step, buku ini tetap saja tidak sepenuhnya dapat menggantikan kebutuhan Anda akan buku-buku statistik ataupun bimbingan orang yang lebih ahli. Ingat, jika kita salah dalam memilih prosedur analisis, hasilnya tidak akan berarti apa-apa.

Jika Anda mengalami kesulitan dalam penggunakan berbagai sorftware statistik dan matematik, Warna Data melayani konsultasi terbatas secara gratis. Namun jika Anda menginginkan konsultasi ataupun pelatihan yang lebih komprehensif, maka hal tersebut dapat kita lakukan dengan biaya yang sangat terjangkau.

Kapan Anda memerlukan perhitungan statistik?

Saat menganalisis data, tujuan Anda sebenarnya sangatlah sederhana: Anda ingin menarik kesimpulan yang mungkin dan kuat hanya berdasarkan dari sejumlah sampel yang terbatas. Untuk dapat melakukan ini, Anda harus dapat mengatasi 2 persoalan di bawah ini:

  • Jika kita melakukan suatu eksperimen, maka perbedaan yang terlihat pada pengamatan dapat saja timbul karena adanya variasi antar sampel (misal ada tikus yang kurus, sedang, gemuk, sangat gemuk/ekstrim), namun bisa saja perbedaan itu terjadi karena adanya kesalahan dalam eksperimen (misal salah pemberian dosis perlakuan, adanya kebocoran pada tabung instrumen, dsb). Hal seperti ini tentu saja menyulitkan kita untuk membedakan perbedaan yang sesungguhnya dari perbedaan yang terjadi karena variasi random dan eksperimental error.

  • Otak manusia cenderung memaksakan untuk membuat pola tertentu, bahkan jika data-data tersebut benar-benar diambil secara acak/random. Kecenderungan alami manusia (terutama dengan data yang mereka miliki sendiri) adalah menyimpulkan bahwa benar-benar ada perbedaan yang nyata, dan meminimalisir kontribusi dari adanya variasi alami antar sampel. Prinsip statistik mencegah kita dari membuat kesalahan semacam ini.

Analisis statistik akan sangat diperlukan pada saat kita mengalami kesulitan untuk menentukan apakah perbedaan yang terlihat benar-benar nyata, ataukah perbedaan tersebut hanya dikarenakan adanya variasi alami antar sampel (random variability) atau mungkin juga dikarenakan adanya ketidaktelitian saat melakukan eksperimen.

Namun dalam kenyataannya, para ilmuwan tidak dapat menghindari adanya variabilitas yang cukup besar. Meski demikian, mereka juga harus memperhatikan adanya perbedaan meski sangat kecil. Metode statistik sangat diperlukan untuk menarik kesimpulan yang valid dari data semacam itu.

Mungkin ada diantara Anda yang masih sulit untuk memahami penjelasan di atas. Kalau Anda termasuk orang yang belum paham, lupakan saja dan jangan dianggap beban karena kita akan membahasnya dengan lebih terperinci pada bab yang akan datang.

Konsep Kunci: Mengambil sampel dari populasi

(Sampling from a population)

Ide dasar statistik adalah simpel: kita ingin melakukan perhitungan dengan sejumlah data yang telah kita kumpulkan sebagai sampel, untuk selanjutnya membuat kesimpulan yang lebih umum tentang populasi tempat kita mengambil sampel tersebut.Untuk melakukan ini, ahli statistik telah mengembangkan metode berdasarkan model yang sederhana:

Anggap data-data yang Anda miliki benar-benar diambil secara random dari suatu populasi. Analisa sampel tersebut, kemudian gunakan hasilnya untuk membuat inferensi (kesimpulan) tentang populasinya. Model ini adalah gambaran akurat untuk beberapa situasi. Sebagai contoh, pada kasus quality control, sampel harus benar-benar dipilih secara random dari sebuah populasi yang besar (produk yang sangat banyak). Namun pada kasus tertentu seperti pasien klinis, kita tidak perlu untuk mengambil sampel secara acak dari populasi yang besar (karena hal ini sangat sulit untuk dilakukan), dan biasanya akan dapat dimaklumi jika Anda mengambil kesimpulan dari pasien yang Anda temui dan pelajari untuk selanjutnya memberlakukan kesimpulan tersebut pada populasi yang lebih besar dengan kondisi pasien yang hampir sama.

Seperti telah dijelaskan di atas, pada eksperimen tertentu Anda tidak perlu benar-benar mengambil sampel dari populasi. Meski demikian, Anda masih diperbolehkan untuk membuat kesimpulan yang lebih umum hanya berdasarkan data yang Anda pelajari tersebut. Konsep sampel dan populasi pada kasus tersebut masih dapat berlaku jika Anda mendefinisikan sampel sebagai data yang telah Anda kumpulkan, dan populasi sebagai data yang akan Anda kumpulkan jika Anda mengulangi eksperimen tersebut sampai beberapa kali (tak terbatas).

Sebagai catatan, istilah sampel dalam statistik memiliki definisi yang spesifik, yang sangat berbeda dengan definisi yang umum. Mempelajari makna baru untuk kata-kata yang sering digunakan adalah bagian dari tantangan dalam belajar statistik.

Kebutuhan akan sampel yang independen

Adalah tidak cukup bila sampel Anda diambil dari suatu populasi. Tes statistik juga mengasumsikan bahwa setiap subyek (atau setiap unit ekserimen) diambil secara independen satu dengan yang lainnya. Konsep independensi mungkin sulit untuk dibayangkan. Bayangkan tiga situasi di bawah ini:

ü Anda mengukur tekanan darah hewan. Anda memiliki lima hewan dalam setiap kelompoknya, dan mengukur tekanan darah sebanyak tiga kali pada setiap hewannya. Ini bukan berarti bahwa Anda memiliki 15 hasil pengukuran yang independen, karena pengukuran sebanyak tiga kali yang Anda lakukan pada satu hewan akan lebih dekat atau hampir sama satu sama lain jika dibandingkan dengan pengukuran yang berasal dari hewan yang lain. Pada kasus semacam ini Anda harus merata-rata tiga pengukuran dari setiap hewanya. Berarti sekarang Anda memiliki lima nilai rata-rata yang independen satu dengan yang lainnya.

ü Anda telah melakukan tiga kali eksperimen biokimia (sebut saja eksperimen A, B, dan C), dengan perincian setiap eksperimen Anda lakukan sebanyak tiga kali/rangkap tiga. Jadi, eksperimen A Anda lakukan sebanyak tiga kali, begitu juga dengan eksperimen B dan C. Hal ini bukan berarti bahwa Anda telah memiliki sembilan nilai yang independen, karena kesalahan (error) pada saat mempersiapkan reagen untuk satu jenis eksperimen dapat mempengaruhi semua hasil dari eksperimen rangkap tiga yang telah Anda lakukan tersebut. Jika Anda merata-rata nilai hasil eksperimen rangkap tiga tersebut pada setiap jenis eksperimennya, maka berarti Anda telah memiliki tiga nilai mean yang independen.

ü Anda melakukan sebuah studi klinis dengan merekrut sepuluh pasien dari sebuah rumah sakit yang berada dalam kota dan sepuluh lagi pasien yang berasal dari rumah sakit di pinggiran kota. Hal ini bukan berarti Anda memiliki 20 subyek yang independen dari satu populasi. Data-data dari sepuluh pasien dari rumah sakit dalam kota mungkin hampir sama satu sama lain jika dibandingkan dengan data-data pasien dari rumah sakit di pinggiran kota. Pada kasus semacam ini berarti Anda telah mengambil sampel dari dua populasi, dan harus memperhatikan kenyataan tersebut (bahwa Anda telah mengambil sampel dari dua populasi) dalam analisis Anda.

Data disebut independen satu sama lain jika semua faktor acak (radom factor) yang menyebabkan sebuah nilai data menjadi terlalu tinggi (besar) atau terlalu rendah (kecil) hanya akan berpengaruh pada satu nilai data tersebut. Jika sebuah faktor acak/random factor (yang tidak Anda perhitungkan dalam analisis data yang bersangkutan) dapat mempengaruhi lebih dari satu nilai data (meski tidak berpengaruh pada semua nilai data), kemudian dapat dikatakan bahwa data-data tersebut tidaklah independen.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa data-data yang kita gunakan sebagai sampel harus independen satu dengan yang lainnya? Kembali ke konsep awal bahwa data-data sampel haruslah acak. Acak disini sangat berhubungan dengan independensi. Artinya, setiap data mempunyai peluang yang sama untuk terpilih dan tidak terpengaruh dan mempengaruhi peluang data yang lain untuk terpilih sebagai sampel berikutnya. Anda akan lebih jelas mempelajari konsep acak independen dengan jalan membandingkannya dengan konsep data yang tidak independen. Kalau data tidak independen, itu berarti bahwa jika Anda ingin mengambil sepuluh data untuk Anda jadikan sampel, maka data pertama yang terpilih akan mensyaratakan data tertentu untuk dijadikan sampel data yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Yang demikian ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara statistik. Mengapa? Karena hasil dari kita meneliti data-data sampel akan kita terapkan pada populasi. Artinya, kesimpulan hasil penelitian/perhitungan dari sampel tesebut akan sama, hampir sama, atau tidak berbeda jauh jika kita melakukan penelitian lagi dengan mengambil sampel secara acak dari populasi tersebut.

Bagaimana Anda dapat menggunakan statistik untuk membuat inferensi/kesimpulan tentang populasi dari sampelnya?

Para ahli statistik telah membagi tiga pendekatan dasar untuk membuat kesimpulan tentang populasi dari beberapa sampel data:

Metode pertama adalah mengasumsikan bahwa populasi tersebut mengikuti sebuah distribusi, yang dikenal dengan distribusi Gaussian (jika divisualisasikan dengan kurva maka akan berbentuk seperti lonceng). Distribusi ini juga sering disebut dengan distribusi normal. Jika populasi Anda memiliki distribusi seperti itu, maka tes statistik membolehkan Anda membuat inferensi/kesimpulan tentang mean (dan property yang lain) dari populasi tersebut. Tes statistik yang paling sering digunakan mengasumsikan bahwa populasinya berdistribusi Gaussian/normal.

Metode kedua adalah membuat rangking atau mengurutkan nilai data dari yang paling rendah ke yang paling tinggi, kemudian membandingkan distribusi urutan tersebut. Prinsip ini adalah dasar dari tes nonparametrik, yang sering digunakan untuk menganalisa data dari distribusi non-Gaussian.

Metode ketiga dikenal dengan istilah resampling. Dengan metode ini, Anda membuat sebuah populasi, dengan berulang kali melakukan sampling nilai dari sampel Anda. Metode ini akan lebih mudah dipahami dengan sebuah contoh. Anggap Anda memiliki sampel yang terdiri dari lima nilai, dan Anda ingin mengetahui seberapa dekat mean sampel tersebut dari mean populasi yang sesungguhnya. Tulis setiap nilai sampel tersebut pada kartu (setiap nilai ditulis pada sebuah kartu), dan masukan kartu-kartu tersebut kedalam sebuah topi sulap (bisa saja tempat yang lain). Buatlah pseudo sampel (sampel semu) dengan jalan mengambil sebuah kartu dari dalam topi (tanpa melihat), di catat nilainya, lalu dikembalikan lagi. Lakukan sebanyak lima kali (N=5) dengan jalan seperti di atas. Anda mungkin mengambil nilai yang sama lebih dari satu kali. Ketika pekerjaan mengambil sampel dengan kartu terasa membosankan, gunakan saja program komputer. Distribusi mean dari sampel-sampel yang diperoleh dari program komputer akan memberikan Anda informasi tentang seberapa akurat Anda mengetahui mean dari seluruh populasi. Ide resampling ini mungkin sulit untuk dibayangkan. Untuk mempelajari pendekatan ini terhadap statistik, baca materi panduan yang tersedia di www.resample.com. SPSS tidak menyediakan prosedur tes yang berdasar pada resampling. Metode resampling sangat berkaitan erat dengan metode bootstrapping.

Batasan statistik

Model statistik adalah simpel: Ramalkan kemungkinan berdasarkan sampel yang Anda kumpulkan untuk situasi yang lebih umum, dengan menganggap bahwa sampel Anda diambil secara acak dari sebuah populasi yang besar. Masalahnya adalah, inferensi statistik hanya dapat diterapkan pada populasi dimana sampel Anda didapatkan. Namun pada kenyataannya, Anda tentunya ingin membuat kesimpulan yang dapat diterapkan bahkan di luar populasi tempat Anda mengambil sampel. Sebagai contoh, Anda melakukan sebuah percobaan di laboratorium sebanyak tiga kali. Semua eksperimen menggunakan persiapan sel yang sama, buffer yang sama, dan perlatan yang sama pula. Inferensi statistik membolehkan Anda untuk membuat kesimpulan tentang apa yang akan terjadi jika Anda mengulangi eksperimen tersebut beberapa kali (tak terbatas) dengan menggunakan persiapan sel yang sama, menggunakan buffer yang sama, dan peralatan yang sama pula dengan semua yang digunakan pada eksperimen yang pertama. Akan tetapi mungkin Anda ingin membuat kesimpulan yang lebih jauh tentang apa yang akan terjadi jika orang lain mengulangi eksperimen yang Anda lakukan dengan sumber sel yang berbeda, buffer yang baru dibuat, dan menggunakan instrumen/peralatan yang berbeda. Namun sialnya, perhitungan statistik tidak dapat membantu untuk membuat kesimpulan yang lebih jauh seperti ini. Anda mesti menggunakan pertimbangan ilmiah dan akal sehat untuk membuat inferensi diluar batasan statistik. Dengan begitu, logika statistik hanyalah merupakan bagian dari penafsiran data saja.

Distribusi Gaussian (distribusi normal)

Ketika banyak faktor acak independen berperilaku aditip untuk menciptakan variabilitas, data akan mengikuti distribusi yang berbentuk lonceng, yang kemudian disebut dengan distribusi Gaussian (distribusi normal), yang diilustrasikan dalam gambar di bawah ini. Panel sebelah kiri menunjukan distribusi dari sampel data yang besar. Setiap nilai ditunjukan sebagai titik (dot), yang puncaknya bergerak secara horizontal untuk menghindari overlap yang terlalu banyak. Ini disebut grafik kolom scatter. Distribusi frekwensi, atau histogram dari nilai-nilai tersebut ditunjukan pada panel yang tengah. Ini menunjukan distribusi yang sebenarnya dari nilai dalam contoh kusus ini. Panel yang kanan menunjukan distribusi Gaussian yang ideal.

Ditribusi Gaussian memiliki beberapa properti matematik yang spesial yang membentuk basis banyak tes statistik. Meskipun tidak ada data yang mengikuti ideal matematik secara persis, banyak data mengikuti distribusi yang hampir mendekati Gaussian.

Distribusi Gaussian juga sering disebut dengan distribusi Normal. Jangan bingung dengan kata “normal” dengan arti yang biasa. Distribusi Gaussian memainkan peran yang sentral dalam statistik karena hubungan matematik yang dikenal dengan teori limit pusat (Central Limit Theorem).

Untuk memahami teorema ini, ikuti eksperimen khayal ini:

1. Buat sebuah populasi denga distribusi yang telah diketahui (yang tidak harus Gaussian).

2. Secara acak ambil beberapa sampel dari populasi tersebut. Tabulasikan mean/rata dari sampel-sampel tersebut.

3. Gambar histogram distribusi frekwensi mean teresbut.

Teori limit pusat mengatakan bahwa jika sampel-sapel Anda cukup besar, distribusi mean-nya akan mengikuti distribusi Gaussian, bahkan meski populasinya bukanlah Gaussian. Karena kebanyakan tes statistik (seperti t test dan ANOVA) hanya berkepentingan dengan perbedaan antar mean, teori limit pusat memperbolehkan tes-tes tersebut bekerja dengan baik meski ketika populasinya bukanlah Gaussian. Agar ini menjadi valid, maka populasinya haruslah secara rasional cukup besar.

Seberapa besar? Ini tergantng pada seberapa jauh distribusi populasi tersebut berbeda dari distribusi Gaussian. Jika populasi tidak memiliki distribusi yang benar-benar aneh, ukuran sampel sekitar sepuluh atau sekitarnya pada umumnya cukup untuk Assuming the population doesn't have a

really weird distribution, a sample size of ten or so is generally enough to

menerapkan teori limit pusat. Untuk mempelajari lebih detil tentang mengapa distribusi Gaussian ideal sangat berguna, baca tentang Central Limit Theorem dalam beberapa teks statistik.

Interval keyakinan (Confidence intervals)

Confidence interval untuk mean

Mean atau rata-rata yang Anda hitung dari sampel tidak sepenuhnya sama persis dengan mean atau rata-rata dari populasinya. Besarnya perbedaan antar keduanya (mean sampel dan mean populasi) tergantung pada besarnya ukuran (jumlah) sampel dan simpangan baku (variability/standard deviation) dari sampel. Jika sampel Anda kecil (sedikit) dan sangat bervariasi, maka mean (rata-rata) sampel kemungkinan besar akan berbeda jauh dari mean (rata-rata) populasinya. Namun jika sampel Anda besar dan sedikit bervariasi (simpangan bakunya kecil), maka mean sampel kemungkinan besar akan sangat dekat dengan mean populasinya. Perhitungan statistik mengkombinasikan ukuran (jumlah) sampel dan simpangan baku (standard deviation) untuk menghasilkan interval keyakinan (confidence interval/CI) bagi mean populasi. Anda dapat menghitung interval untuk berapa saja tingkat keyakinan yang Anda inginkan, namun tingkat keyakinan sebesar 95% adalah yang sangat umum digunakan. Jika Anda menganggap bahwa sampel yang Anda miliki benar-benar secara acak Anda kumpulkan dari suatu populasi (yang mengikuti distribusi normal/Gaussian), maka Anda dapat yakin 95% bahwa confidence interval yang Anda hasilkan benar-benar mengandung mean populasi yang sesungguhnya, dan kemungkinan bahwa CI tersebut tidak mengandung mean populasi yang sesungguhnya hanyalah 5% saja. Namun karena Anda biasanya tidak tahu besarnya mean populasi yang sesungguhnya, maka Anda tidak akan pernah tahu kapan ini terjadi.

Confidence intervals untuk parameter lain

Para ahli statistik telah menurunkan metode di atas guna menghasilkan interval keyakinan (confidence intervals) untuk hampir semua situasi. Sebagai contoh, ketika membandingkan beberapa kelompok, Anda dapat menghitung tingkat keyakinan (CI) 95% bagi perbedaan mean antar kelompok tersebut. Logikanya sederhana saja. Ada 95% kemungkinan bahwa interval yang Anda hitung mengandung perbedaan mean yang sesungguhnya antar kelompok tersebut. Dengan logika yang hampir sama, metode ini berlaku untuk menghitung tingkat keyakinan (CI) 95% bagi proporsi rasio, best-fit slope of linear regression, dan hampir semua parameter statistik yang lain.

Tidak ada yang spesial dengan 95% (Nothing special about 95%)

Perlu diketahui bahwa tidak ada sesuatu yang magis dengan angka 95%. Anda dapat menghitung confidence iterval (CI) untuk berapa saja derajat keyakinan yang Anda inginkan. Jika Anda ingin lebih yakin bahwa interval yang akan Anda hitung benar-benar mengandung parameter yang sesungguhnya, maka interval tersebut akan menjadi lebih lebar. Jadi, interval keyakinan (CI) 99% sudah jelas akan lebih lebar dari CI 95%, dan CI 90% akan lebih sempit dari CI 95%.

P values

Apa itu P value?

Anggap bahwa Anda telah mengumpulkan data dari dua sampel hewan yang diberi perlakuan yang sama. Anda mengukur enzim pada masing-masing plasma hewan tersebut, dan Anda menemukan bahwa mean atau rata-rata enzime dari kedua hewan tersebut berbeda. Anda ingin mengetahui apakah perbedaan mean enzim tersebut dikarenakan oleh efek obat—dengan kata lain apakah kedua populasi benar-benar memiliki mean yang berbeda. Mengamati mean sampel yang berbeda tidaklah cukup untuk meyakinkan Anda dan membuat kesimpulan bahwa kedua populasi memiliki mean yang berbeda. Mungkin saja sebenarnya kedua populasi memiliki mean yang sama (obat-obatan tersebut tidak memiliki efek pada enzmi yang Anda ukur), dan perbedaan yang terlihat tersebut hanyalah faktor kebetulan semata. Tidak ada cara yang dapat meyakinkan Anda bahwa perbedaan yang Anda amati tersebut mecerminkan adanya perbedaan yang sesungguhnya atau bahwa perbedaan tersebut hanyalah kebetulan karena adanya sampling acak (random sapling). Satu-satunya cara yang dapat Anda lakukan adalah menghitung probabilitasnya. Perhitungan statistik dapat menjawab pertanyaan ini: Jika populasi benar-benar memiliki mean yang sama, berapakah probabilitasnya (kemungkinanya) untuk mendapatkan perbedaan sebesar itu (atau lebih besar lagi) diantara mean sampel dalam sebuah eksperimen semacam ini?

Jawaban dari pertanyaan di atas disebut dengan nilai P atau P value.

P value adalah sebuah probabilitas atau kemungkinan, dengan nilai berkisar dari 0 ke 1. Jika nilai P (P value) kecil, maka Anda akan menyimpulkan bahwa perbedaan antar mean sampel tidaklah karena kebetulan semata. Dengan kata lain, Anda dapat menyimpulkan bahwa populasi tersebut benar-benar memiliki mean yang berbeda.

Apa itu hipotesis nol (Ho)?

Ketika para ahli membicarakan nilai P (P values), mereka menggunakan terminologi hipotesis nol (null hypothesis). Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada perbedan antar kelompok. Dengan menggunakan terminologi tersebut, Anda dapat mendefinisikan nilai P sebagai probabilitas untuk mendapatkan perbedaan sebesar (atau lebih besar) dari yang Anda amati jika hipotesis nol benar.

Salah penafsiran yang biasa dilakukan tentang nilai P

Banyak orang salah menafsirkan nilai P. Jika nilai P sebesar 0,03, hal itu berarti bahwa ada 3% kemungkinan untuk mendapatkan perbedaan sebesar yang Anda amati meskipun jika kedua mean populasi identik (hipotesis nol benar). Kalau Anda mengartikan demikian, ini sama artinya dengan Anda mencoba menyimpulkan bahwa ada 97% kemungkinan bahwa perbedaan yang Anda amati mencerminkan perbedaan antar populasi yang sesungguhnya, dan 3% kemungkinan bahwa perbedaan tersebut hanyalah suatu kebetulan saja. Namun demikian, ini adalah kesimpulan yang keliru. Yang dapt Anda katakan adalah bahwa pengambilan sampel secara acak dari (random sampling) dari populasi yang identik akan menyebabkan perbedaan yang lebih kecil dari apa yang Anda amati dalam 97% eksperimen, dan lebih bedar dari yang Anda amati dalam 3% eksperimen. Perbedaan ini mungkin akan lebih jelas Anda pahami setelah Anda membaca “Perspective Bayesian dalam menterjemahkan signifikansi statistik” pada bahasan selanjutnya.

Nilai P satu sisi vs dua sisi (One- vs. two-tail P values)

Ketika membandingkan dua kelompok, Anda harus membedakan antara nilai P satu sisi dan dua sisi. Mulailah dengan hipotesis nol yang menyatakan bahwa kedua populasi benar-benar sama, dan perbedaan yang terlihat antar mean sampel hanyalah suatu kebetulan saja.

Catatan: Contoh ini adalah untuk t tes yang tidak berpasangan, yang membandingkan dua kelompok yang independen. Ide yang sama dapat diterapkan untuk tes statistik yang lain.

v Nilai P dua sisi menjawab pertanyaan ini: Anggap hipotesis nol benar, berapakah kemungkinannya bahwa sampel yang Anda pilih secara acak akan memiliki mean sebesar (atau lebih besar) dari yang Anda dapatkan dalam eksperimen ini dengan kelompok yang lain memiliki mean yang lebih besar?

v Untuk menterjemahkan nilai P satu sisi, Anda harus memprediksikan kelompok mana yang akan memiliki mean yang lebih besar sebelum mengumpulkan data-data. Nilai P satu sisi menjawab pertanyaan ini: Anggap hipotesis nol benar, berapakah kemungkinan bahwa sampel yang dipilih secara acak akan memiliki mean sebesar (atau lebih besar) yang Anda dapatkan dalam eksperimen ini dengan kelompok yang telah ditetapkan akan memiliki mean yang lebih besar?

Nilai P satu sisi tepat digunakan hanya ketika data sebelumnya, keterbatasan fisik, atau akal sehat mengatakan pada Anda bahwa perbedaan tersebut, jika ada, hanya akan berjalan satu arah. Intinya bukan apakah Anda mengharapkan perbedaan itu terjadi—yang Anda coba ketahui dengan melakukan eksperimen. Intinya adalah apakah Anda harus menterjemahkan lenaikan dan penurunan dengan cara yang sama.

Anda hanya boleh memilih nilai P satu sisi ketika dua di bawah ini benar.

* Anda harus memprediksikan grup atau kelompok mana yang akan memiliki mean (atau proporsi ) yang lebih besar sebelum Anda mengumpulkan data-data.

* Jika gup/kelompok lain terbukti memiliki mean yang lebih besar – meski selisihnya sedikit sekali –Anda tetap harus rela/legowo untuk mengakui perbedaan tersebut sebagai hal yang mungkin.

Nilai P dua sisi tepat digunakan pada situasi sebagai berikut:

o Hubungan/ relationship antara nilai P (P values) dan interval keyakinan (confidence intervals) akan lebih mudah dipahami menggunakan nilai P dua sisi.

o Beberapa tes membandingkan tiga atau lebih grup/kelompok, yang membuat konsep sisi/ekor (tails) tidak tepat (lebih-lebih nilai P (P value) yang memiliki sisi/ekor yang banyak. Nilai P dua sisi lebih konsisten dengan nilai P yang dilaporakan oleh tes-tes ini.

Memilih nilai P satu sisi dapat menyebabkan dilema. Apa yang akan Anda lakukan jika Anda memilih untuk menggunakan nilai P satu sisi, terlihat perbedaan yang besar antar mean, tapi grup/kelompok yang “salah” memiliki mean yang lebih besar? Dengan kata lain, perbedaan yang terlihat berlawanan dengan hipotesis percobaan Anda. Untuk lebih tegasnya, Anda mesti menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut hanyalah karena kebetulan semata, mestki perbedaan tersebut sangatlah besar sekali. Meskipun tergoda, tidaklah fair kalau Anda kemudian merubahnya menjadi nilai P dua sisi atau merbah arah hipotesis percobaan Anda. Untuk menghindari situasi ini, selalu gunakan nilai P dua sisi.

Hypothesis testing and statistical significance

Statistical hypothesis testing

Banyak penalaran statistik dikembangkan dalam konteks quality control dimana Anda membutuhkan jawaban tegas “Ya” atau “Tidak” dari setiap analisis. Apakah Anda menerima atau menolak batch? Logika yang digunakan untuk menjawabnya disebut dengan hypothesis testing.

Pertama-tama, definisikan ambang batas (threshold) nilai P sebelum Anda melakukan percobaan/eksperimen. Idealnya, Anda harus menetapkan nilai tersebut berdasarkan konsekwensi relatif untuk kehilangan perbedaan yang sesungguhnya atau menemukan perbedaan yang salah. Dalam prakteknya, nilai ambang batas/threshold value (disebut dengan a) hampir selalu ditetapkan dengan angka 0.05 (sebuah nilai sembarang yang telah diadopsi/digunakan secara luas).

Selanjutnya, definisikan hipotesis nol (null hypothesis). Jika Anda membandingkan dua rata-rata (dua mean), hipotesis nol-nya adalah bahwa kedua populasi memiliki mean yang sama. Dalam hampir semua situasi, hipotesis nol merupakan kebalikan hipotesis eksperimen yang menyatakan bahwa rata-rata (mean) keduanya berasal dari populasi yang berbeda (mean keduanya berbeda/tidak sama).

Sekarang, lakukan tes yang sesuai untuk menghitung nilai P. Jika nilai P kurang dari ambang batas (threshold), nyatakan bahwa Anda “menolak hipotesis nol” dan bahwa perbedaan tersebut “signifikan secara statistik”. Jika nilai P lebih besar dari nilai ambang batas (treshold), nyatakan bahwa Anda “tidak menolak hipotesis nol” dan bahwa perbedaan tersebut “tidak signifikan secara statistik”. Meski demikian, Anda tidak dapat menyimpulkan bahwa hipotesis nol benar. Yang dapat Anda simpulkan adalah bahwa Anda tidak memiliki bukti yang cukup untuk menerima hipotesis nol.

Statistical significance in science

Istilah signifikan adalah menggiurkan, dan mudah untuk disalahinterpretasikan. Dengan menggunakan definisi konvensional dengan alpha= 0.05, suatu hasil dikatakan signifikan secara statistik ketika hasil tersebut akan terjadi kurang dari 5% kali jika populasinya benar-benar identik. Mudah untuk meembaca sangat jauh kedalam kata significant karena penggunaan kata secara statistik memiliki arti yang sepenuhnya berbeda dari arti biasanya. Hanya karena sebuah perbedaan signifikan secara statistik, tidak berarti bahwa secara biologis atau secara klinis penting atau menarik. because the

statistical use of the word has a meaning entirely distinct from its usual

meaning. Just because a difference is statistically significant does not mean

that it is biologically or clinically important or interesting. Lebih dari itu, sebuah hasil yang tidak signifikan secara statistik, (dalam eksperimen pertama) boleh jadi akan menjadi sangat penting.

Jika sebuah hasil signifikan secara statistikm maka ada dua penjelasan yang mungkin:

  • Populasi mereka (yang bersangkutan) adalah identik, jadi benar-benar tidak ada perbedaan. Secara kebetulan, Anda mendapatkan niali yang lebih besar dalam salah satu grup dan nilai yang lebih kecil dalam grup yang lain. Mendapatkan hasil yang signifikan secara statistik ketika populasi yang bersangkutan identik disebut dengan membuat “error tipe I”. Jika Anda mendefinisikan signifikan secara statistik pada mean “P<0.05”,>
  • Populasi mereka (yang bersangkutan) memang berbeda, jadi kesimpulan Anda benar. Perbedaan tersebut kemungkinan cukup bedat untuk menjadi menarik secara statistik. Atau, ini hanya sangat kecil dan sepele.

Outliers

Apa itu outlier?

Ketika menganalisa data, kadang-kadang Anda menemukan sebuah data yang nilainya sangat jauh dengan yang lainya. Nilai seperti itu disebut dengan outlier, istilah yang biasanya tidak didefinisikan secara tegas/pasti. Jika Anda mendapati sebuah outlier, mungkin Anda tergoda untuk menghapusnya dari analsis. Sebelum Anda melakukan hal yang lebih jauh, tanyakan pada diri Anda sendiri pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

Ø Apakah nilai tersebut telah Anda entry ke dalam komputer dengan benar? Jika ternyata telah terjadi kesalahan dalam proses pemasukan data, segera perbaiki.

Ø Apakah mungkin ada kesalah eksperimen dalam menghasilkan nilai tersebut? Sebagai contoh, jika Anda menganggap sebuah botol kelihatan aneh atau lucu, kemudian Anda melakukan pembenaran untuk tidak memasukan nilai yang dihasilkan oleh botol tersebut tanpa sebelumnya melakukan suatu perhitungan.

Ø Apakah mungkin outlier tersebut disebabkan oleh biological diversity? Jika nilai tersebut dperoleh dari orang atau hewan lain, mungkin outlier tersebut memang nilai yang benar. Jadi nilai tersebut merupakan outlier yang bukan disebabkan oleh kesalahan eksperimen, tapi lebih disebabkan karena individu tersebut kemungkinan memang berbeda dengan yang lainnya. Jika demikian halnya, ini adalah penemuan data yang sangat menarik!

Jika jawaban Anda untuk ketiga pertanyaan di atas adalah “tidak”, maka Anda harus segera memutuskan apa akan Anda lakukan terhadap outlier tersebut. Ada dua kemungkinan yang dapat Anda lakukan:

v Kemungkinan yang pertama adalah bahwa outlier tersebut hanyalah suatu kebetulan saja. Jika kasusnya seperti ini, Anda harus mengikutsertakan nilai tersebut dalam analisis Anda. Nilai outlier tersebut diperoleh dari distribusi yang sama, meskipun nilainya sangat jauh berbeda, jadi harus tetap diikutsertakan.

v Kemungkinan yang lain adalah outlier tersebut muncul karena suatu kesalahan – pipetting yang buruk, tegangan yang anjlok/tidak stabil, lubang pada filter/saringan dan lain-lain. Karena mengandung nilai yang salah maka analsis Anda akan memberikan hasil yang tidak valid. Jadi, Anda harus membuang nilai outlier tersebut. Dengan kata lain, nilai tersebut berasal dari populasi yang berbeda dengan nilai-nilai yang lain, dan berpotensi akan menyesatkan.

Namun masalahnya adalah, Anda tidak pernah yakin untuk menetukan kemungkinan mana diantara semua kemungkinan tersebut yang benar. Tidak ada perhitungan statistik yang dapat meyakinkan Anda apakah outlier yang muncul berasal dari populasi yang sama atau berlainan dengan yang lain. Namun demikian, perhitungan statistik mempu menjawab pertanyaan ini: Jika semua nilai data tersebut benar-benar diambil secara acak dari distribusi normal (Gaussian), berapakah kemungkinannya bahwa Anda akan mendapatkan lagi sebuah nilai yang jauh berbeda dengan yang lainnya seperti yang telah Anda amati/dapatkan? Jika kemungkinan/probabilitasnya kecil, maka Anda harus menyimpulkan bahwa outlier tersebut merupakan nilai yang salah/error, dan Anda telah mendapatkan pembenaran untuk membuangnya dari analisis Anda.

Para ahli statistik telah memikirkan beberapa metode untuk mendeteksi outlier. Semua metode tersebut pertama mengukur/menghitung seberapa jauh outlier tersebut (jika ada) dari nilai-nilai yang lain. Ini bisa saja perbedaan antara outlier dengan rata-rata (mean) semua nilai, perbedaan antara outlier dan rata-rata (mean) dari nilai-nilai selain outlier tersebut, atau perbedaan antara outlier dan nilai terdekat. Langkah selanjutnya adalah menstandarisasi nilai ini dengan membaginya dengan beberapa ukuran penyebaran (scatter), seperti SD (standar deviasi) dari seluruh nilai, SD dari sisa nilai, atau range data. Akhirnya, penghitungan nilai P dapat menjawab pertanyaan ini: Jika seluruh nilai benar-benar diambil dari populasi nirmal (Gaussian), berapakah kemingkinannya mendapatkan sebuah outlier secara acak yang jauh dengan nilai-nilai yang lain? Jika nilai P kecil, mak Anda dapat menyimpulkan bahwa deviasi/penyimpangan outlier tersebut dari nilai-nilai yang lain adalah signifikan secara statistik.

Ketika Saya Pulang di suatu Senja

Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih melihatnya duduk di sana. Seorang wanita empat puluhan duduk dalam kiosnya di tepi seruas jalan di kotaku yang telah ribuan kali kulewati. Puluhan tahun yang lalu ketika usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios itu sudah ada disana. Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang kelontong.

Ketika itu mobil kami berhenti di depan kiosnya dan wanita itu datang menghampiri membawa apa yang biasanya kami inginkan, majalah Ananda dan Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk ayah. Demikian terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama bertahun-tahun hingga tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera baca, saya tak lagi menemui wanita itu.

Sekonyong-konyong di senja itu, tatapan mata saya ke luar angkot yang tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu kios itu dan wanita yang sama di dalamnya. Bedanya, kali ini ia tak lagi menjajakan koran dan majalah. Hanya rokok, minuman cola, air mineral, dan sejumlah barang lain. Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya tak tahu persis. Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah kenyataan bahwa ia, untuk menafkahi hidupnya, masih saja duduk di tempat yang sama, setelah lewat bertahun-tahun.

Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya tumpangi, saya menatap puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang lintasan rel yang menuju stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba dan juga pertanyaan. Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan cepat. Apa yang begitu menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya, sehingga mereka sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh hidup yang keras. Apakah itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu penjaja koran yang tinggal di Jogja dan mereka yang tinggal di kompleks kumuh Jakarta tetap bertahan di sana?

Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa. Tetapi keponakan saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.

Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya: Ular-Tangga. Setelah beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak, saya meraih surat kabar dan mulai membaca-baca. Rosa, keponakan saya itu, kemudian berkata, "Ayo jalan! Gililan Om. Kalo nggak jalan juga, Om bakal nggak naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak selesai-selesai."

Saya tersadar.

Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang harus dilewati. Ada Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.

Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan yang bernama kuliah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah. Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan melempar dadunya. Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan. Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah-lah yang mengatur. Dan disitulah nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas
melempar dadu.

Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu.

Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.

Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yang optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.

Showtime

every ones makes mistakes
it's nothing to be ashamed of
don't let this mistake go to waste
be able to smile as you walk

Yes, I breathe in the quite air
and raise my face towards the sky, and jump in
if it rains,i'll take a break
and let the wind decide where I go

I carry along many regrets

but letting these wounds go to waste is stupid
carve a medal into your chest and set sail
your life becomes a "showtime" from there

every ones makes mistakes
it's nothing to be ashamed of
don't let this mistake go to waste
be able to smile as you walk

turn your sadness into winds
and just be able to keep moving forward

Secuil Kertas

Di dalam ruang kamar kos yang sempit dan pengap di sudut utara pinggiran kota Jogja, seorang mahasiswa menghisap rokoknya dalam-dalam sembari membaca secarik kertas meski untuk yang keempat kalinya.

Tak ada yang mesti disesali, pikirnya. Semakin cepat ia menghapus semua kenangan masa lalu, semakin cepat pula bayang-bayang yang selama ini mengikuti segera sirna. Dan ia pun akan melakukannya sebentar lagi.

Tapi buru-buru ia melupakan pikiran itu dan kembali menatap sebingkai foto wajah yang terpampang rapi di meja belajarnya.

”Ia gadis yang mengagumkan,” sang mahasiswa itu menggumam sendiri saat lamunannya tenggelam ke masa silam, masa yang membanggakan sekaligus membahagiakan dalam hidupnya.

Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Mengapa waktu begitu cepat berlalu dan ia tak menghabiskan waktu lebih lama bersamanya?
Mengapa juga ia tak pernah berani mencoba menghampiri, menyentuh kedua tangannya dan
mengatakan berulang kali bahwa ia sangat mencintainya?
Mengapa ia tak pernah melakukannya?

Sang mahasiswa memaki dirinya sendiri saat air mata mulai menetes dari sudut matanya yang cekung, mengalir perlahan membasahi pipi dan jatuh diatas secarik kertas itu.

Buru-buru ia tersadar, mengernyitkan dahinya yang mulai tergores keriput sambil menyeka wajah dengan punggung tangannya yang sedikit bergetar.

”Ah, tak ada mesti disesali, semua sudah terlambat,” ia mulai menggumam lagi. Dalam beberapa saat lamunannya kembali melayang, membayangkan sahabat kecil sekaligus gadis yang sangat ia cintai.

Mengapa waktu tak bisa diputar mundur? Sang mahasiswa menghela nafas panjang. Ekspresi wajahnya jelas menampakan kerinduan dan kekecewaan yang amat dalam.

Setelah meremas erat kertas itu ia membakar ujungnya dan menjatuhkannya ke dalam asbak. Sang mahasiswa terus menatap kertas yang mulai terbakar perlahan, yang menimbulkan bayangan bergerak-gerak di dinding kamar yang gelap, kemudian meredup dan mati. Ia mengibaratkan kejadian itu dengan perjalanan hidupnya selama ini. Senyuman pahit itu kembali terlihat.

Sang mahasiswa menjatuhkan putung rokoknya ke lantai, menginjak dengan tumit kakinya lalu meraih sebingkai foto itu dan mendekapnya erat ke dada yang terasa sesak. Setelah memejamkan mata sejenak ia mengulur kabel telanjang dari laci meja, melilitkan sebagian di tubuhnya yang kurus lalu mencoba menghubungkannya melalui lubang stop-contact yang terpasang di dinding kamar itu.

Belum sempat kabel itu terhubung, terdengar alunan merdu adzan maghrib dari surau seberang jalan. Sang mahasiswa pun terhenyak, merapikan rambutnya lalu mencoba membuka pintu perlahan. Sembribit udara segar dan bulir-bulir cahaya keemasan berdesakan menerobos masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Sang mahasiswa pun berjalan perlahan menuju surau, meninggalkan ruangan yang sempit dan gelap.

Di dalam asbak secuil kertas masih tersisa, gagal terbakar karena basah oleh tetesan air mata. Di atas secuil kertas itu tertulis, ”menikah besok pagi.”


Yogyakarta ’02.

Kesengsaraan..

(Kepada siapa harus kuceritakan kesedihan ini?)


Darahku tiba-tiba beku, jantung seakan berhenti. Kepala terasa semakin kecil, mengecil dan tinggal sekepalan tangan. Mulai kuperhatikan bahwa semakin cepat dunia berubah, semakin lamban dan kerdil aku menjadi. Malam ini Lala mengirim sms, mengabarkan bahwa ia telah diterima di Tumble Tots sebagai pengajar anak pra sekolah. Ini berarti semua teman seangkatanku wisuda telah mendapat pekerjaan. Selama hidup tak pernah aku merasa lumpuh seperti ini. Bahkan lenganku tak bisa kugerakan meraih sebuah buku, meski akan terasa lebih nyaman jika membaca. Dan, sederhana saja, semua ini karena Lala sedang bersuka ria, atau melakukan persiapan masuk kerja. Sungguh, aku bahagia, tidak iri. Akan tetapi perasaan terus menguntit bahwa sementara Lala bersukaria dan teman-temanku yang lain sibuk bekerja menumpuk uang, aku hanya terduduk, lemas tak berdaya.

Hampir tujuh bulan lewat telah kuselesaikan kuliah dan menunggu panggilan kerja yang tak kunjung tiba. Aku masih menunggu. Tak ada yang dapat kulakukan selain hanya terus menunggu, atau terombang-ambing, dan semakin tak berdaya laiknya menyiram luka sendiri dengan asam secara berkala. Di kota dimana seorang tinggal hampir separuh umurnya, sepertinya hampir tidak mungkin kalau ia merasa sendirian; akan tetapi aku tidak demikian. Aku sendirian hampir sepuluh jam sehari di ruang yang sempit dan pengap.

***

Seharusnya aku tidak harus merasa bosan. Bisa saja aku menghabiskan waktu dengan membaca. Selama tinggal dengan kakakku ia selalu membawakan buku baru dengan harapan aku akan membacanya. Aku hanya berharap demikian. Hari-hari yang lalu, ketika aku masih kuliah dan memiliki kamar kos sendiri, aku rajin membaca. Aku selalu membeli buku lebih cepat dari aku dapat menyelesaikannya. Setelah bertumpuk-tumpuk aku merasa dapat menjadikannya sebagai jaminan kehidupan mendatang yang lebih baik. Namun sekarang, sekarang disaat kumiliki banyak waktu untuk melanjutkan riset sederhana yang pernah kumulai sebelumnya, aku jadi malas membaca. Buku jadi tak menarik lagi. Setelah dua atau tiga halaman, atau seperti biasa kadang terjadi, satu paragraf, aku tak mampu melanjutkannya.

Untung saja Mbak Esti selalu berusaha memberiku dukungan moral. Ia tak merasa keberatan menampungku di rumahnya sementara menunggu mendapat pekerjaan. Ia ingin aku menikmati kebebasan ini, membaca atau mengerjakan sesuatu yang menyenangkan yang tak bisa kulakukan jika kelak telah mendapat satu pekerjaan. Sekitar dua tahun yang lalu aku berambisi melakukan penelitian mengenai kebribadian beberapa teman kuliahku dengan memancing respon atas sikap-sikap yang kutunjukan. Namun sangat sulit kupahami ketika kini aku jadilinglung untuk melanjutkannya justru ketika data telah banyak kudapatkan.

***

Sebenarnya aku memiliki banyak teman, tapi cukup lama tak berjumpa. Sebagian kerja dan tinggal diluar Jogja, sebagian disini, beberapa di BUMN, dan beberapa lainnya melanjutkan kuliah atau mencari akta mengajar. Aku dan teman-temanku semakin tak akrab saja. Aku tak terlalu ingin bertemu mereka. Sebenarnya beberapa perbedaan diantara kami kemungkinan masih dapat diperbaiki. Tapi menurutku, gembok utama yang mengikat persahabatan kami telah patah, dan aku tak punya niat untuk menggantinya lagi. Hasilnya, aku sangat kesepian. Aku duduk bermalas-malasan di kamar, mengantisipasi waktu-waktu membosankan, lalu-lalang pembantu, kartun SpongeBob, Dora The Explorer, Rugrats, Hey Arnold, Fairly Odd Parents, Blues Clues di TV, dan pastinya, tekanan berulang dari pikiran-pikiran tertentu.

Seperti biasa, aku selalu enggan keluar ruangan. Pun terpaksa pergi, aku tak pergi jauh. Aku berusaha menghindari jalan-jalan tertentu. Aku selalu takut berpapasan dengan orang yang kukenal, yang akan memperlihatkan kekagetannya saat melihatku dan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.

Dua minggu yang lalu Bapak datang menjenguk. Hubungan kami sedang baik saat itu. Tapi, aku tak memulainya bicara. Jika aku tetap diam, aku tak akan membuat kesalahan lain. Jika aku mulai bicara, lama kelamaan hanya akan menunjukan keadaanku meski tanpa kusadari. Lega rasanya bisa menghindari percakapan dengannya yang seperti biasa, akan dimulai dengan merendahkanku dan menyidir dengan pertanyaan, “Apa Bapak sudah cerita tentang anaknya Pakde Marno yang kuliah di teknik elektro? Ia sudah dapat kerjaan dengan posisi yang tinggi di Pertamina. Kau masih ingat dia?”

Aku mulai sadar ada sesuatu yang salah dengan keadaan ini. Dilain pihak, aku juga mulai merasa sudah berubah meski sulit kukatakan seberapa besar perubahan itu. Aku merasakan keanehan, seakan tak menjadi bagian dari bumi, bak tidur terlentang dan memandangi awan-awan yang menggelantung. Aku punya semangat untuk bekerja tapi tak kumiliki kebebasan untuk mendapatkannya. Mestinya dulu aku mengambil jurusan farmasi, ekonomi, atau bahkan teknik. Jurusan sastra adalah satu investasi yang gagal.

***

Hari yang berat dan muram. Aku terbangun tiba-tiba, tak tahu apa yang mesti duluan kulakukan—apakah mencuci muka, mengenakan pakaian, mendengarkan radio, menyisir rambut, ataukah mencukur kumis dan merapikan jenggot. Aku kembali berebah, menghabiskan beberapa jam mengumpulkan sisa-sisa energi, menatap langitlangit, kemudian sontak memaksa berdiri.

Memasuki kehidupan baru setelah regenerasi (saat tidur), secara fisik dari telanjang ke mengenakan pakaian, dan dalam pikiran dari relatif bersih ke terkontaminasi, membuka jendela kamar, melihat cuaca, aku benar-benar memasuki kehidupan.

Pukul setengah sepuluh sarapan pagi. Setelahnya mengambil koran di teras, membolak-balik dari depan ke
belakang, meyakinkan tak ada satu lembarpun yang tercecer. Pertama kulihat adalah lowongan pekerjaan (aku rajin melakukannya sejak tujuh bulan lalu meski mulai kurasakan kebosanan), kemudian berita nasional, artikel, dan akhirnya iklan kecik, berita duka, TTS, semuanya. Enggan menaruhnya, aku bahkan kembali membacanya untuk melihat kalau-kalau telah kulewatkan sesuatu.

Menjelang tengah hari suasana mulai berubah, mengusung kegelisahan baru. Kucoba membaca sebuah jurnal statistik tapi tak mampu kukunci pikiran agar fokus ke kalimat-kalimat pada lembaran atau hubungan katakatanya. Kulipat gandakan usaha itu namun perasaan ragu timbul disana-sini, keluar masuk, sepele dan penting menjadi satu. Dan tiba-tiba kututup, seperti jalan yang sepi; kosong. Jam empat, dan tak ada sesuatu yang terjadi padaku; jam empat dan gelap mulai merayap; jam empat dan handphone-ku belum berdering sekalipun.

Hidup macam apa yang berisi kekacauan hari, penyamarataan musim. Aku tak tahu jawabannya. Tapi bagiku, aku benar-benar yakin bahwa hari telah kehilangan kejelasannya. Kemarin hari-hari menjemur, mencuci, hari yang memulai suatu kejadian dan hari pula yang mengakhirinya. Tapi sekarang, mereka tidak ada bedanya, semua sama. Bagiku sangat sulit untuk membedakan Selasa dengan Sabtu. Jika aku lupa memperhatikannya dengan cermat pada bagian atas koran, aku tak tahu hari apa sekarang. Jika aku menebaknya Rabu namun kemudian ternyata Kamis, aku sungguh tak merasakan sedikitpun kesenangan dalam menghabiskan 24 jam.

* * *

Ledakan emosi yang tak biasa, terjadi saat aku bertemu Alfian. Aku bertingkah tanpa kendali, sungguhmengejutkan diriku sekaligus membingungkan Sismoyo. Sismoyo menelpon tentang pekerjaan sambilan,menginterview beberapa orang untuk polling yang ia kerjakan untuk perusahaan rokok tempatnya bekerja. Akusegera menemuinya di Gudeg Yu Sri. Tiba lebih awal, aku segera mengambil meja tengah supaya mudah terlihat olehnya, namun ternyata aku justru menjadi korban depresi. Sebenarnya akulah yang menyarankan bertemudisini, setidaknya tempat inilah yang ada di benakku saat itu.

Saat kucoba mengamati sekeliling, tiba-tiba pandanganku terkunci pada sosok yang agak familiar. Aku melihat Alfian duduk di meja pojok dengan seorang wanita yang tak kukenal. Sepuluh tahun lalu ia menjadi teman terbaikku di bangku SMA. Ia kelihatan berubah, lebih putih dan rapi. Aku tersenyum sambil mengangguk kearahnya namun tak ada respon darinya. Ia melihatku sekilas seakan tak pernah mengenaliku. Kuanggukan lagi tapi ia benar-benar tak merasakan kepedihanku.
Ketika Sismoyo datang dan mulai membicarakan pekerjaan yang ia tawarkan, aku menyela tak sabar,
“Tunggu sebentar Sis!”
“Ada apa pram?”
“Kau lihat pria di pojok sana, yang mengenakan dasi coklat? Namanya Alfian. Dulu ia sahabat terbaiku.”
“Lalu?”
“Barusan aku menyapanya tapi ia bertingkah seolah tak ada disana.”
“Apanya yang salah?”
“Apa itu kelihatan wajar? Aku dulu sahabatnya!”
“Lalu?”
“Berhentilah bertanya lalu!” Aku semakin jengkel dengan sikap Sismoyo yang tak juga paham maksudku.
“Maksudku, kau ingin dia merangkul lehermu?” sahut Sismoyo.
“Sekarang dengar baik-baik. Apa urusannya dia mengabaikanku seperti itu? Ini keterlaluan Sis, dia akan selalu
begitu jika dibiarkan. Aku harus memberinya pelajaran.”
“Jangan bertindak bodoh Pram. Aku kesini untuk bicara pekerjaan, bukan melihatmu berkelahi.”
“Ini masalah prinsip Sis, dia tidak bisa seenaknya begitu. Entah kenapa tingkahnya sudah membuatku
tersinggung!” aku mulai bertambah emosi.
“Sudahlah Pram, jangan teriak seperti itu. Lihat, kau telah bikin keributan di sini.”
“Memangnya kenapa?! Harusnya aku teriak lebih keras lagi biar dia dengar! Dia sudah keterlaluan. Hei, Fian! Hei sombong! Idiot!” Aku berteriak-teriak ke arahnya.
“Tutup mulutmu Pram. Ya ampun, apa yang kau lakukan! Semua orang melihat ke arahmu!”
Alfian melihat sekilas kearahku, lalu melanjutkan percakapan dengan temannya yang kemudian juga mengamatiku sebentar.
“Kau sudah gila Pram, ayo kita keluar dari sini.” Sismoyo mencoba menarik lenganku tapi aku sudah diluar
jangkauannya. Aku melangkah kearah Alfian dan berhenti persis di depannya.
“Tadi aku menyapamu, apa kau tidak lihat?!
Ia tak menjawab.
“Apa kau mengenaliku?! Keliatannya aku tahu betul siapa kamu. Sekarang jawab, apa kau mengenalku?!” Aku
menggebrak meja dan menarik kerah bajunya
“Ya, aku mengenalmu” ia menjawab dengan suara lirih namun dingin tanpa ekspresi apapun.
“Itu yang ingin kudengar dari mulutmu! Hanya itu!” kulepaskan lenganku dan keluar restoran tanpa memandang sekeliling.

* * *

Aku sadar kejadian di tempat itu pasti menggoreskan kesan buruk pada Sismoyo, namun sedikit penjelasan
mungkin akan membuatnya maklum. Tapi, aku tidak juga memberikan penjelasan sampai pertemuan kami yang kedua dirumahnya. Aku jadi pendiam. Aku tidak dan masih tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Aku curiga ini berasal dari kekacaun pikiran belaka. Tapi bagaimana semua ini harus kujelaskan pada Sismoyo tanpa ia terlibat dalam situasi yang kualami dengan berbagai penyebabnya? Penjelasan sepertinya hanya membuatnya tidak nyaman, bingung dan semakin tidak percaya padaku. Dan bagiku, ini hanya memboroskan perasaan kasihan diri sendiri.

Kami kembali membicarakan pekerjaan. Ia berjanji akan merekomendasikanku pada atasannya dan berharap aku akan segera mendapatkannya. Sismoyo sangat baik padaku. Aku tahu itu. Tapi ia telah bekerja keras untuk meraih posisinya sekarang, dan aku tidak mau menjadi beban baginya. Sebenarnya aku pun tak mau sepenuhnya menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu. Aku salah telah membuat keributan, itu benar. Tapi mempertahankan harga diri di hadapan Alfian juga tidak salah. Akhirnya kukatakan pada Sismoyo, seolah kami akan berpisah selamanya,
“Sis, jika kau punya pandangan lain orang yang tepat menduduki posisi itu, serahkan saja padanya. Mereka yang ada di restoran itu pasti mengenaliku setelah kejadian itu. Dan mungkin saja aku akan bertemu mereka suatu saat nanti karena pekerjaan ini memang memungkinkan untuk itu. Aku tidak ingin mengecewakanmu. Terima kasih telah memikirkanku.....”
“Ayolah Pram, kenapa kau ini. Dengar.........”
“Tidak apa-apa Sis, sungguh! Aku telah memikirkannya berulang kali.”
“Pokoknya aku akan tetap mendaftarkanmu Pram. Aku ingin kita ketemu lagi beberapa hari ini untuk
membicarakan teknisnya.”
“Sudahlah Sis, trims. Lupakan saja soal kerjaan itu.” Dengan segera aku meninggalkan Sismoyo yang tetap
termangu sendirian. Aku merasa lega. Rasanya aku telah memindahkan beban yang sangat berat dari pundaknya. Aku tidak mau dia menanggung kesalahanku suatu saat jika aku benar-benar bekerja untuknya.

***

Om Tadi, adik bapakku, tiba-tiba terserang stroke ringan, dan tahu betapa repotnya bibiku, ibu memintaku pergi membantu. Om Tadi tinggal di Pekalongan, sekitar enam jam perjalanan melelahkan dari Jogja. Dalam perjalanan, secara tak sengaja kubeli sebuah buku kecil panduan menikmati kehidupan. Aku membaca pengantarnya dan sampai pada frase: ”Kemuakan hidup berakar dari sebab moral dan fisik........” aku tertarik untuk mengikutinya lebih lanjut. ”Semua kebahagiaan dalam kehidupan didasarkan pada kejadian fenomena eksternal. Perubahan siang dan malam, musim, bunga, buah, dan seluruh kesenangan yang datang pada kita, yang sebaiknya dan seharusnya kita nikmati—semua ini adalah bagian terpenting dalam kehidupan keduniawian. Semakin terbuka kita akan kejadian ini, semakin bahagia kita. Akan tetapi jika perubahan-perubahan itu justru membuat kita merasa terlipat didalamnya, dan kita tidak memberinya perhatian, tidak sensitif, kemudian datanglah pada kita hal yang sangat buruk, penyakit yang sangat berat—kita menganggap hidup sangat menjijikan, penuh dengan beban yang sangat berat.” Kemudian sampai pada kalimat: ”Tidak ada yang lebih memuakan di dunia ini dari pada terus menyimpan kenangan cinta pertama.” Kecewa berat, aku membuang buku itu keluar jendela Bus AKAP yang membawaku memasuki kota Pekalongan.

Saat tiba, kudapati rumah Om Tadi sangat berantakan. Bibi berusaha memasak, merapikan tempat tidur, merawat suaminya, dan menjawab telepon dalam waktu yang bersamaan. Telepon rumahnya tak pernah sepi lebih dari lima menit. Teman-teman bibiku selalu menelpon, dan kepada mereka ia mengulangi cerita yang sama tentang betapa repotnya dia. Aku tidak terlalu suka dengan bibiku. Dia selalu memakai bedak tebal, kuku-kukunya dicat, dan bibirnya memakai lipstik menyala sebagai media untuk menunjukan sensualitas kewanitaannya, dari relatif dewasa, ke sangat tua.

Aku menuju kamar Om. Ia tiduran dengan lutut diangkat naik dan tulang iga menyembul keatas, hingga seolah-olah kepalanya telihat menyatu tanpa leher. Dari piyamanya yang sedikit terbuka, kulit tubuhnya terlihat pucat dengan rambut putih keperakan. Ia kelihatan aneh dengan jubah berkancing besar dan saku bergambar lucu. Ini kerjaan Bibi. Ia yang membeli baju itu dan mendadaninya seperti mafia mandarin. Om Tadi menyapaku dengan senyum yang dibuat-buat, seakan merasa bersalah bahwa sangatlah tidak jantan ataupun kebapakan bagi seorang laki-laki untuk terbaring sakit tak berdaya.

Telepon berdering lagi, dan sekali lagi bibi memulai cerita kepada satu dari beberapa koleganya (siapa yang peduli siapa saja mereka?!).
“Suamiku terserang stroke dan harus istirahat total. Kau tak tega kan kalau mesti meninggalkan seseorang yang sedang sakit dirumah sendirian?” suaranya terdengar keras menggema di seluruh ruang. Tidak ada tanda bahwa Om Tadi mendengar suara itu; secara otomatis ia bagaikan tuli dari suara istrinya. Tapi tentu saja mustahil kalau ia tidak mendengar suara yang sangat keras itu. Dan, aku sering menjadi penasaran untuk mengetahui perasaannya. Satu kalipun tak pernah kudengar ia mengkritik atau memarahi bibi. Ia selalu berkata ”Setiap orang tidak sama Pram, terkadang kita mesti mengesampingkan perasaan untuk mempertahankan keharmonisan.”

Sembribit udara dari luar jendela terasa dingin menusuk. Saat hendak keluar mengambil obat di apotik, aku
mendengar bibi berkata, ”Keponakanku Pramono disini untuk bantu-bantu. Ia tidak punya kerjaan alias nganggur. Jadi ya.....sekalian buat aktifitas dia biar nggak stress!” Aku terhenyak dan menoleh penuh kedongkolan. Tapi, sambil sibuk memainkan gagang telpon di pipinya, bibi hanya tersenyum saat melirikku. Aku heran dan bertanyatanya dalam hati; apakah mungkin ia mengatakannya tanpa sengaja hingga aku tidak layak untuk merasa tersinggung? Ataukah otaknya sehalus bubur hingga ia tidak bisa berpikir? Ataukah sebenarnya ia juga merasa setengah bersalah? Atau, memang ia tidak mengetahui apa-apa yang telah ia ucapkan? Aku gelisah, lalu cepatcepat keluar sambil membuyarkan lamunan.

***

Di hari minggu yang lalu, seminggu persis sebelum aku meninggalkan rumah Mbak Esti dan menginap di rumah Hendra, aku “disidang” kakak dan iparku di teras depan. Mereka memberiku ceramah dan amplop berisi sejumlah uang guna keperluanku melamar pekerjaan, dan sebagian lagi untuk membeli pakain rapi kalau-kalau aku dipanggil untuk wawancara.
“Terima kasih Mbak, tapi aku tak bisa menerimanya.”
“Terima saja, nggak usah basa-basi.”
“Tapi buat apa uang ini? Aku tidak sedang butuh. Aku menghargainya, tapi aku tak ingin merepotkan kalian lagi.”
“Apa? Liat penampilanmu! Mana ada instansi yang mau mempekerjakan pegawai yang berantakan seperti kamu. Pantas saja kau belum juga dapat pacar!”
“Atau, jangan-jangan jodohmu sudah mati?” Iparku menyahut sambil terbahak-bahak saat Mbak Esti memasukan amplop itu ke saku kemejaku setengah memaksa. Ia kelihatan bahagia sekali sampai-sampai dari mulutnya sesekali terlihat muncratan-muncratan air ludah. Aku tak berdaya.

Aku menarik diri kebelakang dan membiarkan mereka berdiskusi seperti biasanya. Dengan mengendap-endap aku menuju kamar Mbak Esti dan menyelipkan amplop pemberian itu di bawah bantal.

***

Aku dan keponakanku, Rosa, tidak pernah akur. Kenyataannya kami mempunyai watak yang berlawanan. Ia
dibesarkan untuk mengenali kemiskinan sebagai suatu hal yang jahat, tak bermartabat dan tak bermakna. Untuk merasa bahwa ia anak seorang keluarga yang berkecukupan, dunia yang terpisah dari mereka yang hidup membosankan dalam rumah tanpa perabot yang memadahi, yang memakai pakaian tak ber-merek, tanpa pembantu, dan yang mempunyai harga diri yang rendah karena kadang terpaksa harus berhutang. Ia lebih dekat dengan kerabat dari papanya. Tantenya yang kuliah di Bandung sering mengunjungi dan mengajaknya ke luar bersama pacarnya. Aku benar-benar tak berarti di matanya.

Meski watak kami berlawanan, aku masih sering berusaha mempengaruhinnya, mengirimi beberapa buku, dan saat ulang tahunnya, membelikan beberapa VCD ensklopedi. Aku tahu aku tak dapat berbuat banyak untuk merubah wataknya. Tapi aku selalu optimis untuk setidaknya berharap bahwa ia akan berubah saat dewasa nanti. Ternyata misiku gagal. Ia sering mengadu ke mama papanya bahwa aku telah mengajarinya “hal yang buruk”. Lantas bagaimana mesti kujelaskan pada mereka bahwa sebenarnya aku sedang ”menyelamatkan” Rossa? Ini menyakitkan. Dia membenci setiap hal yang kuajarkan hanya karena ia membenci diriku.

***

Meski sebagian waktuku habis di depan TV, tapi aku hanya ikut nonton kartun kesayangan Rosa, sampai-sampai aku hafal semua tayangan kartun anak. Aku tak pernah punya kesempatan melihat acara lain karena kalau kucoba mengganti chanel, Rosa akan segera teriak membuat kegaduhan. Benar, baru semenit melihat berita, Rosa ikut masuk keruang tengah. Tanpa basa-basi ia langsung merebut remote dan mengganti chanel.
“Tunggu sebentar Ros, beritanya belum selesai.”
“Tapi sekarang waktunya SpongeBob Om!” Ia tetap mengganti chanelnya dengan arogan.
“Kamu mestinya sabar Ros, kamu kan sudah seharian nonton kartun. Sekarang giliran Om Pram yang nentuin
chanel!” aku mencoba membujuknya.
“Tidak, pokoknya harus SpongeBob!”
“Dengar,” aku berusaha keras mengontrol emosiku, “ Om Pram cuma ingin melihat berita sebentar saja.”
“Aku bilang tidak, ini TV mama. Pengemis tidak berhak memilih chanel!” Ia mengatakannya dengan mantap seperti sudah dipersiapkan sebelumnya. Aku tak percaya barusan yang kudengar.
“Apa kau bilang?!”
“PENGEMIS tidak berhak memilih chanel!” Ia mengulanginya lebih mantap.
“Dasar tikus kecil,” aku berteriak sambil menghampirinya, “Apa yang bisa kamu lakukan hanyalah menangiiiiiis!”
“Oh!” Ia kaget dan berusaha berontak.
“Dasar anak manja...” aku meraih pinggulnya dan menarik pahanya kearahku. Kukunya yang tajam mencoba
mencakar wajahku. Dengan menarik rambutnya kebelakang aku berusaha membantingnya. Ia tertelentang, dan langsung kutindih dengan kuat.
“Lepasakan aku Om...biarkan aku pergi!”
“Rasakan ini dari pengemis yang tak akan bisa kau lupakan dengan cepat.” Aku menyeret pahanya ke pinggir
tembok.
“Jangan!” ia berteriak lebih keras, “Om Pram jahat.........!”
“Tidak usah berontak. Percuma!,” aku berusaha membungkamnya. “Apalagi menyumpahiku, percuma saja!”
Kutampar pipinya dua kali agar ia tak berani lagi mengataiku pengemis. Dapat kudengar suara kaki-kaki berlarian menuju ke ruang tengah. Iparku datang pertama kali dan langsung menerobos masuk. Di belakangnya, dengan menahan nafas, datang Mbak Esti diikuti pembantu.
“Pram,” Iparku terengah-engah, “Lepaskan dia. Biarkan dia pergi!”
Aku terdiam, namun tidak langsung melepaskannya. Ia tidak lagi berontak. Rambut panjangnya terurai berantakan disekitar leher. Kedua pahanya masih menempel di pangkuanku. Apakah ini dimaksudkan untuk memperjelas kesalahanku ataukah dia berharap agar mereka melihat dan menjadikannya sebagai bumbu, aku tidak tahu persis.

“Ros, cepat berdiri!,” Iparku berteriak dengan kasar, “Rapikan pakaianmu.”
Perlahan ia berdiri dan menjauh. Aku khawatir mereka tak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi pada kami.
“Dan sekarang, jika kamu mampu, Pram,” teriak Iparku sambil melirikku dengan bola mata yang membesar,
“Jelaskan apa yang sedang kau lakukan terhadap Rosa!”
“Mama,” belum sempat kujawab tiba-tiba Rosa menangis. “Aku tidak salah. Dia tiba-tiba menubrukku.”
“Apa?! Ya ampun, apa yang kau ucapkan?” Aku berteriak memprotesnya. “Aku menamparmu karena kau tidak sopan!”
Mata Iparku menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan. Aku balik menatapnya dengan tak kalah tajam.
“Tak pernah ada yang menampar Rosa dengan alasan apapun, Pram!”
“Tanpa alasan apapun?! Apakah mengatai pamannya dengan sebutan PENGEMIS termasuk dalam ‘tanpa alasan apapun’? Ada sesuatu yang ambigu di kepalamu Mas!”
Ia tercengang lalu menoleh ke arah istrinya. “Adikmu sudah gila. Sekarang ia malah mau membuat masalah
denganku!”
“Aku hanya memberinya pelajaran sopan santun. Ia berontak lalu aku mengapitnya. Jadi...tidak seperti yang
kalian bayangkan! Aku tidak separah itu!”
“Ia menarik rambutku,” Rosa berteriak. “Lalu mengapit pahaku hingga hampir patah.”
Mbak Esti, setelah menoleh ke arah TV, mematikannya, lalu duduk dan berusaha menenangkan diri. Apa yang aku tangkap darinya adalah bahwa ia menengenali perasaan maluku. Tapi malu apa?! Memang sebenarnya tidak ada yang harus merasa malu.
“Apa yang dia lakukan lagi terhadapmu Ros?” Mas Sulton melanjutkan menginterogasi Rossa.
“Oh, jadi kau pikir dia masih menyembunyikan sesuatu? Aku menamparnya. Apalagi yang sedang kau pancing
darinya! Memangnya kau mengharapkan jawaban apa? Pencabulan atau......”
“Diam! Berhentilah bertingkah seperti lelaki liar!” Mas Sulton memotongku dengan kasar.
“Oh begitu?! Bagaimana dengan tingkah putrimu?” Aku menimpalinya dengan pedas. “Sepertinya kau
membiarkan Rosa bertingkah sesuka hatinya, tapi jika aku memprotesnya semua orang akan menyalahkanku.
Kenapa kau tidak tanyakan hal itu padanya? Lihat bagaimana kau mendidiknya. Sangat bagus bukan? Kau
mengajarinya membenci orang, dan ya, keluarga dekat istrimu.!”
“Sudahlah. Lain kali jangan menamparnya lagi,” Mbak Esti mencoba menengahi. “Kendalikan amarah kalian.” Ia bergegas mendekati Mas Sulton.
“Kenapa ia tidak menjelaskan juga apa yang dia lakukan di kamarmu Ma?” Rossa memanas-manasi suasana. Ia
terlihat dingin penuh kemenangan.
“Apa?” teriak Mas Sulton.
“Tadi dia di kamar Mama dan mencari-cari sesuatu.”
“Dasar tikus kecil!” Aku berteriak memakinya. “Kalian dengar?” Aku menatap yang lain. “Dia bahkan menuduhku mencuri.”
“Apa yang kamu cari?” Rossa berusaha memojokanku.
“Sekarang kau pergi ke kamar Mamamu dan cari tahu apa saja yang hilang....Tidak akan ada yang hilang. Atau,
kalau perlu kalian bisa menggeledahku. Aku akan sangat senang jika kalian menemukan sesuatu yang
kusembunyikan.”
“Katakan saja, memangnya apa yang kau kerjakan di kamar kami! Tidak ada yang mengataimu pencuri.”
“Itukah yang ada dibenakmu Mas? Bagiku sudah jelas, kalian menuduhku sebagai pencuri.”
“Baiklah, sekarang jelaskan,” Mas Sulton mendesakku.
“Aku hanya mencari penjepit.”
Di pojok ruangan, Rosa tersenyum sinis.
“Kau kira aku bohong?!”
“Hanya penjepit. Itu saja?” Mas Sulton ikut-ikutan tersenyum sinis.
“Terserah kalian kalau tidak percaya!” Mereka diam. “Sekarang, kalian telah cukup mempermalukanku’” suaraku mulai terdengar bergetar parau. “Bagi kalian aku tidak lebih dari seorang pengemis, dan juga seorang pencuri!” (sambil menoleh ke arah Mas Sulton, yang mulai menunduk dengan air muka memerah) “Dan kau Mas,” aku melanjutkan suara parauku. “Aku tahu sebenarnya kau tidak ikhlas aku berlama-lama di sini.” Tidak satupun dari mereka yang menjawab. Lalu aku melangkah ke luar ruangan, mengemasi pakaian dan pergi.

***

Malam gelap dengan gumpalan awan di sana-sini. Kulemparkan pandangan keluar jendela kamar. Batu-batu kerikil berserakan di tepi jalan setelah tersapu hujan yang lumayan deras. Lamunanku melayang lagi. Perasaan semakin tak berharga kembali merongrong. Dendam dan perasaan kecewa terhadap beberapa mantan teman kuliah semakin menjadi. Sebenarnya aku selalu menghormati mereka, lebih dari mereka menghormatiku. Aku selalu berusaha begitu. Namun yang tak bisa kumengerti mengapa aku justru selalu menjadi korban fitnah, amarah, dan stigma negatif mereka. Banyak hal lain yang membuatku merasa semakin tak berarti. Aku hanya berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir jika aku bangun setelah tertidur nanti.
“Belum tidur Pram?” rupanya Hendra terbangun, “Sudahlah, jangan dipikirkan, nggak ada gunanya kok.”
“Oh enggak kok Hen, cuma belum ngantuk saja nih. Nanggung, bentar lagi juga sudah adzan.”
“Sepertinya sudah waktunya kau pertimbangkan untuk Hijrah dari kota ini Pram. Kau perlu suasana baru “
“Aku kira juga begitu Hend.”
“Emm, apa perlu kubuatkan kopi?” Meski belum begitu sadar Hendra bangkit. Sambil menuju dapur ia
menghidupkan radio kesayangannya. Dari kotak hardborad tua itu sayup-sayup terdengar sebuah lagu lawas,

“Ada yang mesti kupikir lagi
Melepas dendam, dan sakit hati
Dan berjuang, membendung benci
Tuhan jagalah, tanganku ini....”


Yogyakarta, 21 Juli 2005