(Kepada siapa harus kuceritakan kesedihan ini?)
Hampir tujuh bulan lewat telah kuselesaikan kuliah dan menunggu panggilan kerja yang tak kunjung tiba. Aku masih menunggu. Tak ada yang dapat kulakukan selain hanya terus menunggu, atau terombang-ambing, dan semakin tak berdaya laiknya menyiram luka sendiri dengan asam secara berkala. Di kota dimana seorang tinggal hampir separuh umurnya, sepertinya hampir tidak mungkin kalau ia merasa sendirian; akan tetapi aku tidak demikian. Aku sendirian hampir sepuluh jam sehari di ruang yang sempit dan pengap.
***
Seharusnya aku tidak harus merasa bosan. Bisa saja aku menghabiskan waktu dengan membaca. Selama tinggal dengan kakakku ia selalu membawakan buku baru dengan harapan aku akan membacanya. Aku hanya berharap demikian. Hari-hari yang lalu, ketika aku masih kuliah dan memiliki kamar kos sendiri, aku rajin membaca. Aku selalu membeli buku lebih cepat dari aku dapat menyelesaikannya. Setelah bertumpuk-tumpuk aku merasa dapat menjadikannya sebagai jaminan kehidupan mendatang yang lebih baik. Namun sekarang, sekarang disaat kumiliki banyak waktu untuk melanjutkan riset sederhana yang pernah kumulai sebelumnya, aku jadi malas membaca. Buku jadi tak menarik lagi. Setelah dua atau tiga halaman, atau seperti biasa kadang terjadi, satu paragraf, aku tak mampu melanjutkannya.Untung saja Mbak Esti selalu berusaha memberiku dukungan moral. Ia tak merasa keberatan menampungku di rumahnya sementara menunggu mendapat pekerjaan. Ia ingin aku menikmati kebebasan ini, membaca atau mengerjakan sesuatu yang menyenangkan yang tak bisa kulakukan jika kelak telah mendapat satu pekerjaan. Sekitar dua tahun yang lalu aku berambisi melakukan penelitian mengenai kebribadian beberapa teman kuliahku dengan memancing respon atas sikap-sikap yang kutunjukan. Namun sangat sulit kupahami ketika kini aku jadilinglung untuk melanjutkannya justru ketika data telah banyak kudapatkan.
***
Sebenarnya aku memiliki banyak teman, tapi cukup lama tak berjumpa. Sebagian kerja dan tinggal diluar Jogja, sebagian disini, beberapa di BUMN, dan beberapa lainnya melanjutkan kuliah atau mencari akta mengajar. Aku dan teman-temanku semakin tak akrab saja. Aku tak terlalu ingin bertemu mereka. Sebenarnya beberapa perbedaan diantara kami kemungkinan masih dapat diperbaiki. Tapi menurutku, gembok utama yang mengikat persahabatan kami telah patah, dan aku tak punya niat untuk menggantinya lagi. Hasilnya, aku sangat kesepian. Aku duduk bermalas-malasan di kamar, mengantisipasi waktu-waktu membosankan, lalu-lalang pembantu, kartun SpongeBob, Dora The Explorer, Rugrats, Hey Arnold, Fairly Odd Parents, Blues Clues di TV, dan pastinya, tekanan berulang dari pikiran-pikiran tertentu.Seperti biasa, aku selalu enggan keluar ruangan. Pun terpaksa pergi, aku tak pergi jauh. Aku berusaha menghindari jalan-jalan tertentu. Aku selalu takut berpapasan dengan orang yang kukenal, yang akan memperlihatkan kekagetannya saat melihatku dan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.
Dua minggu yang lalu Bapak datang menjenguk. Hubungan kami sedang baik saat itu. Tapi, aku tak memulainya bicara. Jika aku tetap diam, aku tak akan membuat kesalahan lain. Jika aku mulai bicara, lama kelamaan hanya akan menunjukan keadaanku meski tanpa kusadari. Lega rasanya bisa menghindari percakapan dengannya yang seperti biasa, akan dimulai dengan merendahkanku dan menyidir dengan pertanyaan, “Apa Bapak sudah cerita tentang anaknya Pakde Marno yang kuliah di teknik elektro? Ia sudah dapat kerjaan dengan posisi yang tinggi di Pertamina. Kau masih ingat dia?”
Aku mulai sadar ada sesuatu yang salah dengan keadaan ini. Dilain pihak, aku juga mulai merasa sudah berubah meski sulit kukatakan seberapa besar perubahan itu. Aku merasakan keanehan, seakan tak menjadi bagian dari bumi, bak tidur terlentang dan memandangi awan-awan yang menggelantung. Aku punya semangat untuk bekerja tapi tak kumiliki kebebasan untuk mendapatkannya. Mestinya dulu aku mengambil jurusan farmasi, ekonomi, atau bahkan teknik. Jurusan sastra adalah satu investasi yang gagal.
***
Hari yang berat dan muram. Aku terbangun tiba-tiba, tak tahu apa yang mesti duluan kulakukan—apakah mencuci muka, mengenakan pakaian, mendengarkan radio, menyisir rambut, ataukah mencukur kumis dan merapikan jenggot. Aku kembali berebah, menghabiskan beberapa jam mengumpulkan sisa-sisa energi, menatap langitlangit, kemudian sontak memaksa berdiri.Memasuki kehidupan baru setelah regenerasi (saat tidur), secara fisik dari telanjang ke mengenakan pakaian, dan dalam pikiran dari relatif bersih ke terkontaminasi, membuka jendela kamar, melihat cuaca, aku benar-benar memasuki kehidupan.
Pukul setengah sepuluh sarapan pagi. Setelahnya mengambil koran di teras, membolak-balik dari depan ke
belakang, meyakinkan tak ada satu lembarpun yang tercecer. Pertama kulihat adalah lowongan pekerjaan (aku rajin melakukannya sejak tujuh bulan lalu meski mulai kurasakan kebosanan), kemudian berita nasional, artikel, dan akhirnya iklan kecik, berita duka, TTS, semuanya. Enggan menaruhnya, aku bahkan kembali membacanya untuk melihat kalau-kalau telah kulewatkan sesuatu.
Menjelang tengah hari suasana mulai berubah, mengusung kegelisahan baru. Kucoba membaca sebuah jurnal statistik tapi tak mampu kukunci pikiran agar fokus ke kalimat-kalimat pada lembaran atau hubungan katakatanya. Kulipat gandakan usaha itu namun perasaan ragu timbul disana-sini, keluar masuk, sepele dan penting menjadi satu. Dan tiba-tiba kututup, seperti jalan yang sepi; kosong. Jam empat, dan tak ada sesuatu yang terjadi padaku; jam empat dan gelap mulai merayap; jam empat dan handphone-ku belum berdering sekalipun.
Hidup macam apa yang berisi kekacauan hari, penyamarataan musim. Aku tak tahu jawabannya. Tapi bagiku, aku benar-benar yakin bahwa hari telah kehilangan kejelasannya. Kemarin hari-hari menjemur, mencuci, hari yang memulai suatu kejadian dan hari pula yang mengakhirinya. Tapi sekarang, mereka tidak ada bedanya, semua sama. Bagiku sangat sulit untuk membedakan Selasa dengan Sabtu. Jika aku lupa memperhatikannya dengan cermat pada bagian atas koran, aku tak tahu hari apa sekarang. Jika aku menebaknya Rabu namun kemudian ternyata Kamis, aku sungguh tak merasakan sedikitpun kesenangan dalam menghabiskan 24 jam.
* * *
Saat kucoba mengamati sekeliling, tiba-tiba pandanganku terkunci pada sosok yang agak familiar. Aku melihat Alfian duduk di meja pojok dengan seorang wanita yang tak kukenal. Sepuluh tahun lalu ia menjadi teman terbaikku di bangku SMA. Ia kelihatan berubah, lebih putih dan rapi. Aku tersenyum sambil mengangguk kearahnya namun tak ada respon darinya. Ia melihatku sekilas seakan tak pernah mengenaliku. Kuanggukan lagi tapi ia benar-benar tak merasakan kepedihanku.Ledakan emosi yang tak biasa, terjadi saat aku bertemu Alfian. Aku bertingkah tanpa kendali, sungguhmengejutkan diriku sekaligus membingungkan Sismoyo. Sismoyo menelpon tentang pekerjaan sambilan,menginterview beberapa orang untuk polling yang ia kerjakan untuk perusahaan rokok tempatnya bekerja. Akusegera menemuinya di Gudeg Yu Sri. Tiba lebih awal, aku segera mengambil meja tengah supaya mudah terlihat olehnya, namun ternyata aku justru menjadi korban depresi. Sebenarnya akulah yang menyarankan bertemudisini, setidaknya tempat inilah yang ada di benakku saat itu.
Ketika Sismoyo datang dan mulai membicarakan pekerjaan yang ia tawarkan, aku menyela tak sabar,
“Tunggu sebentar Sis!”
“Ada apa pram?”
“Kau lihat pria di pojok sana, yang mengenakan dasi coklat? Namanya Alfian. Dulu ia sahabat terbaiku.”
“Lalu?”
“Barusan aku menyapanya tapi ia bertingkah seolah tak ada disana.”
“Apanya yang salah?”
“Apa itu kelihatan wajar? Aku dulu sahabatnya!”
“Lalu?”
“Berhentilah bertanya lalu!” Aku semakin jengkel dengan sikap Sismoyo yang tak juga paham maksudku.
“Maksudku, kau ingin dia merangkul lehermu?” sahut Sismoyo.
“Sekarang dengar baik-baik. Apa urusannya dia mengabaikanku seperti itu? Ini keterlaluan Sis, dia akan selalu
begitu jika dibiarkan. Aku harus memberinya pelajaran.”
“Jangan bertindak bodoh Pram. Aku kesini untuk bicara pekerjaan, bukan melihatmu berkelahi.”
“Ini masalah prinsip Sis, dia tidak bisa seenaknya begitu. Entah kenapa tingkahnya sudah membuatku
tersinggung!” aku mulai bertambah emosi.
“Sudahlah Pram, jangan teriak seperti itu. Lihat, kau telah bikin keributan di sini.”
“Memangnya kenapa?! Harusnya aku teriak lebih keras lagi biar dia dengar! Dia sudah keterlaluan. Hei, Fian! Hei sombong! Idiot!” Aku berteriak-teriak ke arahnya.
“Tutup mulutmu Pram. Ya ampun, apa yang kau lakukan! Semua orang melihat ke arahmu!”
Alfian melihat sekilas kearahku, lalu melanjutkan percakapan dengan temannya yang kemudian juga mengamatiku sebentar.
“Kau sudah gila Pram, ayo kita keluar dari sini.” Sismoyo mencoba menarik lenganku tapi aku sudah diluar
jangkauannya. Aku melangkah kearah Alfian dan berhenti persis di depannya.
“Tadi aku menyapamu, apa kau tidak lihat?!
Ia tak menjawab.
“Apa kau mengenaliku?! Keliatannya aku tahu betul siapa kamu. Sekarang jawab, apa kau mengenalku?!” Aku
menggebrak meja dan menarik kerah bajunya
“Ya, aku mengenalmu” ia menjawab dengan suara lirih namun dingin tanpa ekspresi apapun.
“Itu yang ingin kudengar dari mulutmu! Hanya itu!” kulepaskan lenganku dan keluar restoran tanpa memandang sekeliling.
* * *
Aku sadar kejadian di tempat itu pasti menggoreskan kesan buruk pada Sismoyo, namun sedikit penjelasanmungkin akan membuatnya maklum. Tapi, aku tidak juga memberikan penjelasan sampai pertemuan kami yang kedua dirumahnya. Aku jadi pendiam. Aku tidak dan masih tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Aku curiga ini berasal dari kekacaun pikiran belaka. Tapi bagaimana semua ini harus kujelaskan pada Sismoyo tanpa ia terlibat dalam situasi yang kualami dengan berbagai penyebabnya? Penjelasan sepertinya hanya membuatnya tidak nyaman, bingung dan semakin tidak percaya padaku. Dan bagiku, ini hanya memboroskan perasaan kasihan diri sendiri.
Kami kembali membicarakan pekerjaan. Ia berjanji akan merekomendasikanku pada atasannya dan berharap aku akan segera mendapatkannya. Sismoyo sangat baik padaku. Aku tahu itu. Tapi ia telah bekerja keras untuk meraih posisinya sekarang, dan aku tidak mau menjadi beban baginya. Sebenarnya aku pun tak mau sepenuhnya menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu. Aku salah telah membuat keributan, itu benar. Tapi mempertahankan harga diri di hadapan Alfian juga tidak salah. Akhirnya kukatakan pada Sismoyo, seolah kami akan berpisah selamanya,
“Sis, jika kau punya pandangan lain orang yang tepat menduduki posisi itu, serahkan saja padanya. Mereka yang ada di restoran itu pasti mengenaliku setelah kejadian itu. Dan mungkin saja aku akan bertemu mereka suatu saat nanti karena pekerjaan ini memang memungkinkan untuk itu. Aku tidak ingin mengecewakanmu. Terima kasih telah memikirkanku.....”
“Ayolah Pram, kenapa kau ini. Dengar.........”
“Tidak apa-apa Sis, sungguh! Aku telah memikirkannya berulang kali.”
“Pokoknya aku akan tetap mendaftarkanmu Pram. Aku ingin kita ketemu lagi beberapa hari ini untuk
membicarakan teknisnya.”
“Sudahlah Sis, trims. Lupakan saja soal kerjaan itu.” Dengan segera aku meninggalkan Sismoyo yang tetap
termangu sendirian. Aku merasa lega. Rasanya aku telah memindahkan beban yang sangat berat dari pundaknya. Aku tidak mau dia menanggung kesalahanku suatu saat jika aku benar-benar bekerja untuknya.
***
Om Tadi, adik bapakku, tiba-tiba terserang stroke ringan, dan tahu betapa repotnya bibiku, ibu memintaku pergi membantu. Om Tadi tinggal di Pekalongan, sekitar enam jam perjalanan melelahkan dari Jogja. Dalam perjalanan, secara tak sengaja kubeli sebuah buku kecil panduan menikmati kehidupan. Aku membaca pengantarnya dan sampai pada frase: ”Kemuakan hidup berakar dari sebab moral dan fisik........” aku tertarik untuk mengikutinya lebih lanjut. ”Semua kebahagiaan dalam kehidupan didasarkan pada kejadian fenomena eksternal. Perubahan siang dan malam, musim, bunga, buah, dan seluruh kesenangan yang datang pada kita, yang sebaiknya dan seharusnya kita nikmati—semua ini adalah bagian terpenting dalam kehidupan keduniawian. Semakin terbuka kita akan kejadian ini, semakin bahagia kita. Akan tetapi jika perubahan-perubahan itu justru membuat kita merasa terlipat didalamnya, dan kita tidak memberinya perhatian, tidak sensitif, kemudian datanglah pada kita hal yang sangat buruk, penyakit yang sangat berat—kita menganggap hidup sangat menjijikan, penuh dengan beban yang sangat berat.” Kemudian sampai pada kalimat: ”Tidak ada yang lebih memuakan di dunia ini dari pada terus menyimpan kenangan cinta pertama.” Kecewa berat, aku membuang buku itu keluar jendela Bus AKAP yang membawaku memasuki kota Pekalongan.Saat tiba, kudapati rumah Om Tadi sangat berantakan. Bibi berusaha memasak, merapikan tempat tidur, merawat suaminya, dan menjawab telepon dalam waktu yang bersamaan. Telepon rumahnya tak pernah sepi lebih dari lima menit. Teman-teman bibiku selalu menelpon, dan kepada mereka ia mengulangi cerita yang sama tentang betapa repotnya dia. Aku tidak terlalu suka dengan bibiku. Dia selalu memakai bedak tebal, kuku-kukunya dicat, dan bibirnya memakai lipstik menyala sebagai media untuk menunjukan sensualitas kewanitaannya, dari relatif dewasa, ke sangat tua.
Aku menuju kamar Om. Ia tiduran dengan lutut diangkat naik dan tulang iga menyembul keatas, hingga seolah-olah kepalanya telihat menyatu tanpa leher. Dari piyamanya yang sedikit terbuka, kulit tubuhnya terlihat pucat dengan rambut putih keperakan. Ia kelihatan aneh dengan jubah berkancing besar dan saku bergambar lucu. Ini kerjaan Bibi. Ia yang membeli baju itu dan mendadaninya seperti mafia mandarin. Om Tadi menyapaku dengan senyum yang dibuat-buat, seakan merasa bersalah bahwa sangatlah tidak jantan ataupun kebapakan bagi seorang laki-laki untuk terbaring sakit tak berdaya.
Telepon berdering lagi, dan sekali lagi bibi memulai cerita kepada satu dari beberapa koleganya (siapa yang peduli siapa saja mereka?!).
“Suamiku terserang stroke dan harus istirahat total. Kau tak tega kan kalau mesti meninggalkan seseorang yang sedang sakit dirumah sendirian?” suaranya terdengar keras menggema di seluruh ruang. Tidak ada tanda bahwa Om Tadi mendengar suara itu; secara otomatis ia bagaikan tuli dari suara istrinya. Tapi tentu saja mustahil kalau ia tidak mendengar suara yang sangat keras itu. Dan, aku sering menjadi penasaran untuk mengetahui perasaannya. Satu kalipun tak pernah kudengar ia mengkritik atau memarahi bibi. Ia selalu berkata ”Setiap orang tidak sama Pram, terkadang kita mesti mengesampingkan perasaan untuk mempertahankan keharmonisan.”
Sembribit udara dari luar jendela terasa dingin menusuk. Saat hendak keluar mengambil obat di apotik, aku
mendengar bibi berkata, ”Keponakanku Pramono disini untuk bantu-bantu. Ia tidak punya kerjaan alias nganggur. Jadi ya.....sekalian buat aktifitas dia biar nggak stress!” Aku terhenyak dan menoleh penuh kedongkolan. Tapi, sambil sibuk memainkan gagang telpon di pipinya, bibi hanya tersenyum saat melirikku. Aku heran dan bertanyatanya dalam hati; apakah mungkin ia mengatakannya tanpa sengaja hingga aku tidak layak untuk merasa tersinggung? Ataukah otaknya sehalus bubur hingga ia tidak bisa berpikir? Ataukah sebenarnya ia juga merasa setengah bersalah? Atau, memang ia tidak mengetahui apa-apa yang telah ia ucapkan? Aku gelisah, lalu cepatcepat keluar sambil membuyarkan lamunan.
***
“Terima kasih Mbak, tapi aku tak bisa menerimanya.”
“Terima saja, nggak usah basa-basi.”
“Tapi buat apa uang ini? Aku tidak sedang butuh. Aku menghargainya, tapi aku tak ingin merepotkan kalian lagi.”
“Apa? Liat penampilanmu! Mana ada instansi yang mau mempekerjakan pegawai yang berantakan seperti kamu. Pantas saja kau belum juga dapat pacar!”
“Atau, jangan-jangan jodohmu sudah mati?” Iparku menyahut sambil terbahak-bahak saat Mbak Esti memasukan amplop itu ke saku kemejaku setengah memaksa. Ia kelihatan bahagia sekali sampai-sampai dari mulutnya sesekali terlihat muncratan-muncratan air ludah. Aku tak berdaya.
Aku menarik diri kebelakang dan membiarkan mereka berdiskusi seperti biasanya. Dengan mengendap-endap aku menuju kamar Mbak Esti dan menyelipkan amplop pemberian itu di bawah bantal.
***
dibesarkan untuk mengenali kemiskinan sebagai suatu hal yang jahat, tak bermartabat dan tak bermakna. Untuk merasa bahwa ia anak seorang keluarga yang berkecukupan, dunia yang terpisah dari mereka yang hidup membosankan dalam rumah tanpa perabot yang memadahi, yang memakai pakaian tak ber-merek, tanpa pembantu, dan yang mempunyai harga diri yang rendah karena kadang terpaksa harus berhutang. Ia lebih dekat dengan kerabat dari papanya. Tantenya yang kuliah di Bandung sering mengunjungi dan mengajaknya ke luar bersama pacarnya. Aku benar-benar tak berarti di matanya.
Meski watak kami berlawanan, aku masih sering berusaha mempengaruhinnya, mengirimi beberapa buku, dan saat ulang tahunnya, membelikan beberapa VCD ensklopedi. Aku tahu aku tak dapat berbuat banyak untuk merubah wataknya. Tapi aku selalu optimis untuk setidaknya berharap bahwa ia akan berubah saat dewasa nanti. Ternyata misiku gagal. Ia sering mengadu ke mama papanya bahwa aku telah mengajarinya “hal yang buruk”. Lantas bagaimana mesti kujelaskan pada mereka bahwa sebenarnya aku sedang ”menyelamatkan” Rossa? Ini menyakitkan. Dia membenci setiap hal yang kuajarkan hanya karena ia membenci diriku.
***
Meski sebagian waktuku habis di depan TV, tapi aku hanya ikut nonton kartun kesayangan Rosa, sampai-sampai aku hafal semua tayangan kartun anak. Aku tak pernah punya kesempatan melihat acara lain karena kalau kucoba mengganti chanel, Rosa akan segera teriak membuat kegaduhan. Benar, baru semenit melihat berita, Rosa ikut masuk keruang tengah. Tanpa basa-basi ia langsung merebut remote dan mengganti chanel.
“Tunggu sebentar Ros, beritanya belum selesai.”
“Tapi sekarang waktunya SpongeBob Om!” Ia tetap mengganti chanelnya dengan arogan.
“Kamu mestinya sabar Ros, kamu kan sudah seharian nonton kartun. Sekarang giliran Om Pram yang nentuin
chanel!” aku mencoba membujuknya.
“Tidak, pokoknya harus SpongeBob!”
“Dengar,” aku berusaha keras mengontrol emosiku, “ Om Pram cuma ingin melihat berita sebentar saja.”
“Aku bilang tidak, ini TV mama. Pengemis tidak berhak memilih chanel!” Ia mengatakannya dengan mantap seperti sudah dipersiapkan sebelumnya. Aku tak percaya barusan yang kudengar.
“Apa kau bilang?!”
“PENGEMIS tidak berhak memilih chanel!” Ia mengulanginya lebih mantap.
“Dasar tikus kecil,” aku berteriak sambil menghampirinya, “Apa yang bisa kamu lakukan hanyalah menangiiiiiis!”
“Oh!” Ia kaget dan berusaha berontak.
“Dasar anak manja...” aku meraih pinggulnya dan menarik pahanya kearahku. Kukunya yang tajam mencoba
mencakar wajahku. Dengan menarik rambutnya kebelakang aku berusaha membantingnya. Ia tertelentang, dan langsung kutindih dengan kuat.
“Lepasakan aku Om...biarkan aku pergi!”
“Rasakan ini dari pengemis yang tak akan bisa kau lupakan dengan cepat.” Aku menyeret pahanya ke pinggir
tembok.
“Jangan!” ia berteriak lebih keras, “Om Pram jahat.........!”
“Tidak usah berontak. Percuma!,” aku berusaha membungkamnya. “Apalagi menyumpahiku, percuma saja!”
Kutampar pipinya dua kali agar ia tak berani lagi mengataiku pengemis. Dapat kudengar suara kaki-kaki berlarian menuju ke ruang tengah. Iparku datang pertama kali dan langsung menerobos masuk. Di belakangnya, dengan menahan nafas, datang Mbak Esti diikuti pembantu.
“Pram,” Iparku terengah-engah, “Lepaskan dia. Biarkan dia pergi!”
Aku terdiam, namun tidak langsung melepaskannya. Ia tidak lagi berontak. Rambut panjangnya terurai berantakan disekitar leher. Kedua pahanya masih menempel di pangkuanku. Apakah ini dimaksudkan untuk memperjelas kesalahanku ataukah dia berharap agar mereka melihat dan menjadikannya sebagai bumbu, aku tidak tahu persis.
“Ros, cepat berdiri!,” Iparku berteriak dengan kasar, “Rapikan pakaianmu.”
Perlahan ia berdiri dan menjauh. Aku khawatir mereka tak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi pada kami.
“Dan sekarang, jika kamu mampu, Pram,” teriak Iparku sambil melirikku dengan bola mata yang membesar,
“Jelaskan apa yang sedang kau lakukan terhadap Rosa!”
“Mama,” belum sempat kujawab tiba-tiba Rosa menangis. “Aku tidak salah. Dia tiba-tiba menubrukku.”
“Apa?! Ya ampun, apa yang kau ucapkan?” Aku berteriak memprotesnya. “Aku menamparmu karena kau tidak sopan!”
Mata Iparku menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan. Aku balik menatapnya dengan tak kalah tajam.
“Tak pernah ada yang menampar Rosa dengan alasan apapun, Pram!”
“Tanpa alasan apapun?! Apakah mengatai pamannya dengan sebutan PENGEMIS termasuk dalam ‘tanpa alasan apapun’? Ada sesuatu yang ambigu di kepalamu Mas!”
Ia tercengang lalu menoleh ke arah istrinya. “Adikmu sudah gila. Sekarang ia malah mau membuat masalah
denganku!”
“Aku hanya memberinya pelajaran sopan santun. Ia berontak lalu aku mengapitnya. Jadi...tidak seperti yang
kalian bayangkan! Aku tidak separah itu!”
“Ia menarik rambutku,” Rosa berteriak. “Lalu mengapit pahaku hingga hampir patah.”
Mbak Esti, setelah menoleh ke arah TV, mematikannya, lalu duduk dan berusaha menenangkan diri. Apa yang aku tangkap darinya adalah bahwa ia menengenali perasaan maluku. Tapi malu apa?! Memang sebenarnya tidak ada yang harus merasa malu.
“Apa yang dia lakukan lagi terhadapmu Ros?” Mas Sulton melanjutkan menginterogasi Rossa.
“Oh, jadi kau pikir dia masih menyembunyikan sesuatu? Aku menamparnya. Apalagi yang sedang kau pancing
darinya! Memangnya kau mengharapkan jawaban apa? Pencabulan atau......”
“Diam! Berhentilah bertingkah seperti lelaki liar!” Mas Sulton memotongku dengan kasar.
“Oh begitu?! Bagaimana dengan tingkah putrimu?” Aku menimpalinya dengan pedas. “Sepertinya kau
membiarkan Rosa bertingkah sesuka hatinya, tapi jika aku memprotesnya semua orang akan menyalahkanku.
Kenapa kau tidak tanyakan hal itu padanya? Lihat bagaimana kau mendidiknya. Sangat bagus bukan? Kau
mengajarinya membenci orang, dan ya, keluarga dekat istrimu.!”
“Sudahlah. Lain kali jangan menamparnya lagi,” Mbak Esti mencoba menengahi. “Kendalikan amarah kalian.” Ia bergegas mendekati Mas Sulton.
“Kenapa ia tidak menjelaskan juga apa yang dia lakukan di kamarmu Ma?” Rossa memanas-manasi suasana. Ia
terlihat dingin penuh kemenangan.
“Apa?” teriak Mas Sulton.
“Tadi dia di kamar Mama dan mencari-cari sesuatu.”
“Dasar tikus kecil!” Aku berteriak memakinya. “Kalian dengar?” Aku menatap yang lain. “Dia bahkan menuduhku mencuri.”
“Apa yang kamu cari?” Rossa berusaha memojokanku.
“Sekarang kau pergi ke kamar Mamamu dan cari tahu apa saja yang hilang....Tidak akan ada yang hilang. Atau,
kalau perlu kalian bisa menggeledahku. Aku akan sangat senang jika kalian menemukan sesuatu yang
kusembunyikan.”
“Katakan saja, memangnya apa yang kau kerjakan di kamar kami! Tidak ada yang mengataimu pencuri.”
“Itukah yang ada dibenakmu Mas? Bagiku sudah jelas, kalian menuduhku sebagai pencuri.”
“Baiklah, sekarang jelaskan,” Mas Sulton mendesakku.
“Aku hanya mencari penjepit.”
Di pojok ruangan, Rosa tersenyum sinis.
“Kau kira aku bohong?!”
“Hanya penjepit. Itu saja?” Mas Sulton ikut-ikutan tersenyum sinis.
“Terserah kalian kalau tidak percaya!” Mereka diam. “Sekarang, kalian telah cukup mempermalukanku’” suaraku mulai terdengar bergetar parau. “Bagi kalian aku tidak lebih dari seorang pengemis, dan juga seorang pencuri!” (sambil menoleh ke arah Mas Sulton, yang mulai menunduk dengan air muka memerah) “Dan kau Mas,” aku melanjutkan suara parauku. “Aku tahu sebenarnya kau tidak ikhlas aku berlama-lama di sini.” Tidak satupun dari mereka yang menjawab. Lalu aku melangkah ke luar ruangan, mengemasi pakaian dan pergi.
***
Malam gelap dengan gumpalan awan di sana-sini. Kulemparkan pandangan keluar jendela kamar. Batu-batu kerikil berserakan di tepi jalan setelah tersapu hujan yang lumayan deras. Lamunanku melayang lagi. Perasaan semakin tak berharga kembali merongrong. Dendam dan perasaan kecewa terhadap beberapa mantan teman kuliah semakin menjadi. Sebenarnya aku selalu menghormati mereka, lebih dari mereka menghormatiku. Aku selalu berusaha begitu. Namun yang tak bisa kumengerti mengapa aku justru selalu menjadi korban fitnah, amarah, dan stigma negatif mereka. Banyak hal lain yang membuatku merasa semakin tak berarti. Aku hanya berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir jika aku bangun setelah tertidur nanti.“Belum tidur Pram?” rupanya Hendra terbangun, “Sudahlah, jangan dipikirkan, nggak ada gunanya kok.”
“Oh enggak kok Hen, cuma belum ngantuk saja nih. Nanggung, bentar lagi juga sudah adzan.”
“Sepertinya sudah waktunya kau pertimbangkan untuk Hijrah dari kota ini Pram. Kau perlu suasana baru “
“Aku kira juga begitu Hend.”
“Emm, apa perlu kubuatkan kopi?” Meski belum begitu sadar Hendra bangkit. Sambil menuju dapur ia
menghidupkan radio kesayangannya. Dari kotak hardborad tua itu sayup-sayup terdengar sebuah lagu lawas,
“Ada yang mesti kupikir lagi
Melepas dendam, dan sakit hati
Dan berjuang, membendung benci
Tuhan jagalah, tanganku ini....”
Yogyakarta, 21 Juli 2005
No comments:
Post a Comment