Friday, June 1, 2007

Secuil Kertas

Di dalam ruang kamar kos yang sempit dan pengap di sudut utara pinggiran kota Jogja, seorang mahasiswa menghisap rokoknya dalam-dalam sembari membaca secarik kertas meski untuk yang keempat kalinya.

Tak ada yang mesti disesali, pikirnya. Semakin cepat ia menghapus semua kenangan masa lalu, semakin cepat pula bayang-bayang yang selama ini mengikuti segera sirna. Dan ia pun akan melakukannya sebentar lagi.

Tapi buru-buru ia melupakan pikiran itu dan kembali menatap sebingkai foto wajah yang terpampang rapi di meja belajarnya.

”Ia gadis yang mengagumkan,” sang mahasiswa itu menggumam sendiri saat lamunannya tenggelam ke masa silam, masa yang membanggakan sekaligus membahagiakan dalam hidupnya.

Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Mengapa waktu begitu cepat berlalu dan ia tak menghabiskan waktu lebih lama bersamanya?
Mengapa juga ia tak pernah berani mencoba menghampiri, menyentuh kedua tangannya dan
mengatakan berulang kali bahwa ia sangat mencintainya?
Mengapa ia tak pernah melakukannya?

Sang mahasiswa memaki dirinya sendiri saat air mata mulai menetes dari sudut matanya yang cekung, mengalir perlahan membasahi pipi dan jatuh diatas secarik kertas itu.

Buru-buru ia tersadar, mengernyitkan dahinya yang mulai tergores keriput sambil menyeka wajah dengan punggung tangannya yang sedikit bergetar.

”Ah, tak ada mesti disesali, semua sudah terlambat,” ia mulai menggumam lagi. Dalam beberapa saat lamunannya kembali melayang, membayangkan sahabat kecil sekaligus gadis yang sangat ia cintai.

Mengapa waktu tak bisa diputar mundur? Sang mahasiswa menghela nafas panjang. Ekspresi wajahnya jelas menampakan kerinduan dan kekecewaan yang amat dalam.

Setelah meremas erat kertas itu ia membakar ujungnya dan menjatuhkannya ke dalam asbak. Sang mahasiswa terus menatap kertas yang mulai terbakar perlahan, yang menimbulkan bayangan bergerak-gerak di dinding kamar yang gelap, kemudian meredup dan mati. Ia mengibaratkan kejadian itu dengan perjalanan hidupnya selama ini. Senyuman pahit itu kembali terlihat.

Sang mahasiswa menjatuhkan putung rokoknya ke lantai, menginjak dengan tumit kakinya lalu meraih sebingkai foto itu dan mendekapnya erat ke dada yang terasa sesak. Setelah memejamkan mata sejenak ia mengulur kabel telanjang dari laci meja, melilitkan sebagian di tubuhnya yang kurus lalu mencoba menghubungkannya melalui lubang stop-contact yang terpasang di dinding kamar itu.

Belum sempat kabel itu terhubung, terdengar alunan merdu adzan maghrib dari surau seberang jalan. Sang mahasiswa pun terhenyak, merapikan rambutnya lalu mencoba membuka pintu perlahan. Sembribit udara segar dan bulir-bulir cahaya keemasan berdesakan menerobos masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Sang mahasiswa pun berjalan perlahan menuju surau, meninggalkan ruangan yang sempit dan gelap.

Di dalam asbak secuil kertas masih tersisa, gagal terbakar karena basah oleh tetesan air mata. Di atas secuil kertas itu tertulis, ”menikah besok pagi.”


Yogyakarta ’02.

No comments: